Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Syaifudin

Founder Mahaba School Semarang

Mengajarkan Koding dan Kecerdasan Artifisial di Tengah Arus Teknologi dan Tantangan Etika

Diperbarui: 8 Juli 2025   07:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para guru sedang mengikuti pelatihan (Sumber Foto: Generated by AI, 2025)

Di tengah derasnya arus digitalisasi, dunia pendidikan Indonesia menghadapi tantangan baru yang mendesak: bagaimana menyiapkan generasi muda agar tidak sekadar menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pencipta dan pengendali yang beretika.

Jawaban atas tantangan itu mulai dirintis melalui program pelatihan nasional yang diinisiasi oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), khususnya oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), berupa pelatihan Training of Trainer (ToT) Koding dan Kecerdasan Artifisial (KA) bagi guru-guru di seluruh Indonesia.

Langkah ini bukan hanya respons terhadap perubahan zaman, tetapi juga sebuah lompatan penting dalam membekali pelajar dengan kecakapan masa depan mulai dari berpikir komputasional, analisis data, hingga kemampuan menyusun algoritma dan memahami etika teknologi.

Dalam pelatihan gelombang ketiga yang berlangsung di Surabaya, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Fajar Riza Ul Haq, memberikan pernyataan yang menggugah. Ia menyebut bahwa pelatihan ini lebih dari sekadar peningkatan keterampilan teknis. Ini adalah proses membentuk ulang cara berpikir.

"Gelombang ketiga ini tidak hanya pelatihan teknis. Kita sedang membangun revolusi cara berpikir," ujarnya dalam sambutan pembukaan.

Lebih lanjut, Fajar menyampaikan sebuah analogi yang kuat mengenai Kecerdasan Artifisial. Menurutnya, AI ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ia memudahkan pekerjaan manusia dan menciptakan efisiensi luar biasa; namun di sisi lain, teknologi ini menyimpan potensi disrupsi yang besar jika tidak diiringi dengan kendali etika.

"Kecerdasan Artifisial ini ibarat pisau bermata dua. Satu sisi mempunyai kontribusi positif dalam memudahkan pekerjaan, dan satu sisi gelapnya yang perlu diantisipasi. Oleh karena itu, pengembangan Kecerdasan Artifisial harus berbasis manusia, jadi jangan sampai manusia itu kehilangan kendali," tegasnya.

Analogi ini sangat relevan. Teknologi yang lepas dari nilai-nilai kemanusiaan dapat menjadi ancaman. Maka, pendidikan AI di sekolah tidak boleh berhenti pada teknis, melainkan harus ditanamkan pula pemahaman mendalam tentang digital citizenship, tanggung jawab sosial, dan etika penggunaan teknologi.

Fajar Riza juga mengajak masyarakat pendidikan untuk mengambil jalan tengah dalam menyikapi teknologi. AI, menurutnya, bukan hal yang harus ditakuti, melainkan dipelajari dan diapresiasi dengan syarat disertai dengan nilai-nilai tanggung jawab digital.

"Saya ingin mengambil jalan tengah. AI adalah inovasi yang harus kita apresiasi, bahkan perlu kita ajarkan kepada anak-anak kita. Tapi itu harus disertai dengan semangat yang mendorong kewargaan digital," katanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline