Betul orang bilang, Yogya tak ada matinya. Makna ungkapan itu tak lain, Jogjakarta selalu ramai dikunjungi wisatawan dan para pelajar yang ingin menimba ilmu.
Wisatawan tertarik lantaran di Jogja banyak objek Wisata, baik wisata budaya maupun wisata alam, sementara bagi pelajar, tertarik menimba ilmu di Jogja lantaran terdapat banyak Lembaga Pendidikan/Perguruan Tinggi yang cukup ternama, baik negeri maupun swasta.
Para wisatawan biasanya mendatangi destinasi wisata seperti pada saat jam atau waktu yang ramai, siang atau malam hari. Saya malah lebih suka datang saat para wisatawan masih sarapan di hotel atau masih di perjalanan.
Saat matahari baru menampakkan diri, saya sudah on the track di titik nol kilometer. Saya duduk santai di bangku yang ada di trotoar samping Kantor Pos Besar buatan bangsa Walanda bin Londo alias Belanda dahulu.
Dari tempat duduk ini, saya bisa melihat lurus ke utara, nampak jalan Malioboro masih lengang dan samar samar kelihatan Gunung Merapi yang melegenda. Jika saya berputar, nampak juga kemegahan Kraton Ngayogyokarto, tempat Ndalem Sri Sultan Hamengkubuwono. Di sebelah kanan tempat duduk saya, berdiri Gedung POS BESAR, sementara disebelah kiri (seberang jalan), ada Gedung BNI yang juga peninggalan Belanda.
Lantaran masih pagi, tak nampak wisatawan di area ini, jika siang menjelma, dipastikan berjubel wisatwan yang ingin menghabiskan waktu di sekitar depan Gedung Negara (Istana Presiden) atau Benteng Vredeburg dan Tugu Serangan Umum. Suasana yang nampak hanya lalu lintas kendaraan dari orang yang akan beraktifitas seperti mau ke pasar, kerja, sekolah, kuliah dan lainnya.
Suasana tenang di pagi hari, ternyata juga bisa berkontemplasi atau paling tidak bisa mengingat kembali masa masa yang telah lalu di sekitar area ini. Di titik nol, utamanya ditengan persimpangan ujung Malioboro yang dulu berdiri tugu dan air mancur, mengingatkan pada masa pergerakan mahasiswa tahun delapan puluhan. Di tempat ini biasanya mahasiswa berkumpul, demontrasi menyuarakan aspirasi tentang berbagai kebejadan dan kepincangan social,ekonomi politik di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi dibawah kekuasaan Orde Baru.
Melihat Gedung Kantor Pos Besar, ingatan saya juga langsung menerawang kejadian yang tak pernah saya lupakan sepanjang hayat. Gedung ini menjadi saksi sejarah bagaimana saya di pecat menjadi anak oleh orang tua
Peristiwa ini bermula dari kedatangan kakak saya dari kampung yang membawa surat Segel. Isinya saya harus menandatangani surat pernyataan bahwa saya bukan lagi anak dari orang tua saya. Tentu saja saya kaget bukan kepalang, mana ada dalam sejarah seorang anak di pecat oleh orang tua sebagai anak.
Usut punya usut, ternyata persoalannya karena isi Telegram (maklum jaman itu telegram adalah sarana komunikasi yg tercepat). Yang dimasalahkan adalah kalimat dalam Telegram yang tertulis "Kepada Yang Terhormat Ayahanda Tuanku ....". Kata Tuanku inilah yang dianggap menghina, dianggapnya orang tua disamakan dengan Tuhan.
Karena merasa tak pernah menulis kata "Tuanku', saya bergegas ke kantor telegram, bagian dari Gedung Kantor Pos Besar. Sambil menunjukkan surat pernyataan, kepada petugas saya minta untuk mencari arsip sesui dengan tanggal dan waktu yang ada telegeram saya. Melihat surat pernyataan, petugas malah tertawa, namun ahirnya ketemu juga setelah mengobrak abrik tumpukan arsip.