Mohon tunggu...
KANG NASIR
KANG NASIR Mohon Tunggu... Administrasi - petualang

Orang kampung, tinggal di kampung, ingin seperti orang kota, Yakin bisa...!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gedung Ini, Saksi Saya (Tidak Jadi) Dipecat sebagai Anak

6 Februari 2020   12:09 Diperbarui: 6 Februari 2020   12:24 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Pos Besar Yogyakarta sebagai saksi saya (tidak jadi) di Pecat sebagai Anak (Foto, dok, Pribadi)

Betul orang bilang, Yogya tak ada matinya. Makna ungkapan itu tak lain, Jogjakarta selalu ramai dikunjungi wisatawan dan para pelajar yang ingin menimba ilmu.

Wisatawan tertarik  lantaran di Jogja banyak objek Wisata, baik wisata budaya maupun wisata alam, sementara bagi pelajar, tertarik menimba ilmu di Jogja lantaran terdapat banyak Lembaga Pendidikan/Perguruan Tinggi yang cukup ternama, baik  negeri maupun swasta. 

Para wisatawan biasanya mendatangi destinasi wisata seperti pada saat jam atau waktu yang ramai, siang atau malam hari. Saya malah lebih suka datang saat para wisatawan masih sarapan di hotel atau masih di perjalanan.

Saat matahari baru menampakkan diri, saya sudah on the track di titik nol kilometer. Saya duduk santai di bangku yang ada di trotoar samping Kantor Pos Besar buatan bangsa Walanda bin Londo alias Belanda dahulu.

Dari tempat duduk ini, saya bisa melihat lurus ke utara, nampak jalan Malioboro masih lengang dan samar samar kelihatan Gunung Merapi yang melegenda. Jika saya berputar, nampak juga kemegahan Kraton Ngayogyokarto, tempat Ndalem Sri Sultan Hamengkubuwono. Di sebelah kanan tempat duduk saya, berdiri Gedung POS BESAR, sementara  disebelah kiri (seberang jalan), ada Gedung BNI yang juga peninggalan Belanda.

Tampak jalan Malioboro masih lengang (Foto dok.Pribadi)
Tampak jalan Malioboro masih lengang (Foto dok.Pribadi)
Lantaran masih pagi, tak nampak wisatawan di area ini, jika siang menjelma, dipastikan berjubel wisatwan yang ingin menghabiskan waktu di sekitar  depan Gedung Negara (Istana Presiden)  atau Benteng Vredeburg dan Tugu Serangan Umum. Suasana yang nampak hanya lalu lintas kendaraan dari orang yang akan beraktifitas seperti  mau ke pasar, kerja, sekolah, kuliah dan lainnya.

Gedung BNI yang masih kokoh
Gedung BNI yang masih kokoh
Suasana  tenang di pagi hari, ternyata juga bisa  berkontemplasi atau paling tidak bisa mengingat kembali masa masa yang telah  lalu di sekitar area ini. Di titik nol, utamanya ditengan persimpangan ujung Malioboro yang dulu berdiri  tugu dan air mancur, mengingatkan  pada masa pergerakan mahasiswa tahun delapan puluhan. Di tempat ini biasanya mahasiswa berkumpul, demontrasi menyuarakan aspirasi tentang berbagai kebejadan dan kepincangan social,ekonomi politik di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi dibawah kekuasaan Orde Baru.

Melihat Gedung Kantor Pos Besar, ingatan saya juga langsung menerawang kejadian yang tak pernah saya lupakan sepanjang hayat. Gedung ini menjadi saksi sejarah bagaimana saya di pecat menjadi anak oleh orang tua

Peristiwa ini bermula dari kedatangan kakak saya dari kampung yang membawa surat Segel. Isinya saya harus menandatangani surat pernyataan bahwa saya bukan lagi anak dari orang tua saya. Tentu saja saya kaget bukan kepalang, mana ada dalam sejarah seorang anak di pecat oleh orang tua sebagai anak.

Usut punya usut, ternyata persoalannya karena isi Telegram (maklum jaman itu telegram adalah sarana komunikasi yg tercepat). Yang dimasalahkan adalah kalimat dalam Telegram yang tertulis "Kepada Yang Terhormat Ayahanda Tuanku ....". Kata Tuanku inilah yang dianggap menghina, dianggapnya  orang tua  disamakan dengan Tuhan.

Karena merasa tak pernah menulis kata "Tuanku', saya bergegas ke kantor telegram, bagian dari Gedung Kantor Pos Besar. Sambil menunjukkan surat pernyataan, kepada petugas saya minta untuk mencari arsip sesui dengan tanggal dan waktu yang ada  telegeram saya. Melihat surat pernyataan, petugas malah tertawa, namun ahirnya ketemu juga setelah mengobrak abrik tumpukan arsip.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun