Lihat ke Halaman Asli

Poem Poespa

Penulis Puitis

Kusebut Mereka; Perempuan yang Menari di Atas Reruntuhan Dunia

Diperbarui: 8 Maret 2025   17:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pinterest


Di sudut kota yang gemerlap, di gang-gang yang remang, di rumah-rumah kecil yang menyimpan sunyi, ada mereka yang bertahan dalam diam. Bangun sebelum fajar merekah, menyeduh kehidupan di dalam cangkir kosong, mengumpulkan serpihan mimpi yang terjatuh di lantai dapur.  

Di pabrik-pabrik yang berdenyut di bawah lampu-lampu pucat, tangan mereka mengulang gerakan yang sama, menjahit kain yang tak akan pernah mereka kenakan, merakit mesin yang tak akan pernah mereka sentuh. Upah mereka dihitung seperti butiran pasir yang selalu kurang dan selalu tercecer. Jika suara mereka naik satu oktaf lebih tinggi, dunia akan menenggelamkannya dengan gelombang ketidakpedulian.  

Di sudut bumi beratas namakan sekolah, seorang gadis kecil menunduk, matanya membaca dunia dari buku yang lusuh. Ia ingin menjadi dokter, tetapi di rumah, ibunya telah menyiapkan nasib yang lain. "Perempuan tidak butuh sekolah tinggi," katanya, sementara bayangan pernikahan dini menjulur seperti akar yang akan menjerat kakinya.  

Di dalam ruang sidang yang penuh tawa lelaki, seorang pekerja yang dirundung di tempat kerja mengadu tentang pelecehan. Suaranya bergetar, tangannya mengepal, tetapi yang didapatnya hanya cibiran. "Mungkin kamu terlalu ramah," kata mereka. "Siapa suruh bajumu terlalu terbuka." Seolah salahnya sendiri jika dunia tak mampu melihatnya sebagai manusia.  

Di rumah sakit, seorang ibu berbaring dengan napas tersengal, setelah melahirkan anak yang belum tentu diterima oleh dunia. Ia menatap langit-langit putih, merasakan luka di tubuhnya, tetapi lebih dari itu, ia tahu luka yang lebih dalam sedang menunggu di luar sana. Anak yang akan ia besarkan akan tumbuh di dunia yang belum tentu ramah pada ibunya.  

Mereka ada di mana-mana, di antara kita, di seberang jalan, di rumah sebelah, di pantulan cermin. Mereka bukan sekadar angka dalam laporan tahunan tentang ketidakadilan, bukan sekadar kutipan berita yang berlalu di layar ponsel. Mereka adalah ibu, saudara, sahabat, rekan kerja, anak perempuan yang harus bertahan di dunia yang selalu meminta mereka untuk diam, tetapi juga menuntut mereka untuk kuat.  

Dunia telah terlalu lama meminta mereka tunduk, tetapi lihatlah mereka tetap berdiri. Mereka, para perempuan yang tubuh dan suaranya selalu dipertanyakan. Mereka yang dipaksa diam saat ingin bersuara, yang dibatasi langkahnya saat ingin terbang, yang keberaniannya disebut pembangkangan, dan kelembutannya dianggap kelemahan.  

Hari ini, bukan hanya selebrasi. Hari ini adalah pengingat bahwa mereka masih ada ; para ibu yang melahirkan peradaban, para pekerja yang tak dihitung jasanya, para anak perempuan yang berani bermimpi lebih tinggi dari batas yang ditentukan untuk mereka. Hari ini adalah suara bagi mereka yang sepanjang sejarah hanya dijadikan latar, tetapi sesungguhnya merekalah fondasi dunia yang kokoh dan mengakar.  

Untuk dunia, berhentilah menutup mata. Jangan ajari mereka diam ketika mereka lahir untuk bersuara. Jangan paksa mereka patuh ketika mereka berhak menentukan jalannya sendiri. Berhentilah menjadikan mereka bayangan yang hanya terlihat saat dibutuhkan, lalu diabaikan saat bersinar terlalu terang.  

Dan untuk mereka —para perempuan yang terus berjalan meski angin menentang— jangan berhenti. Jangan biarkan dunia mengecilkan mimpimu, menghapus keberanianmu, atau menyalahkan langkahmu. Kau bukan hanya sayap yang mereka coba patahkan, kau adalah angin yang akan tetap berhembus, kau adalah ombak yang akan terus memecah karang, kau adalah cahaya yang tak bisa mereka redupkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline