Lihat ke Halaman Asli

Terima Kasihku untuk Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Diperbarui: 3 Mei 2016   11:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tak pernah terpikirkan olehku sedikit dilirik oleh teman-teman, mendapat eluan, motivasi, dan pujian yang membangun. Aku bangun, shalat, mandi lalu berangkat sekolah. Aku duduk, bengong, kosong, istirahat, masuk lagi, istirahat, masuk lagi, lalu pulang. Aktivitasku yang kulakukan selama sebelas tahun. Jangankan untuk sekadar membaca sebuah novel, antologi cerpen ataupun antologi puisi, membaca selembar paper pelajaran pun sangat berat rasanya. Sekalipun orang tuaku menyuruh membaca buku-buku pelajaran dengan nada menjurus ketus. Hmmm... aku langsung bangun, ku baca sebuah buku, aku baca sambil tiduran sampai tertidur. Aku tahu reaksi orang tuaku sebenarnya, walaupun aku tak melihat mimik mukanya, tak mendengar bentaknya, tak merasakan tangisan dalam hatinya. Tidaklah aku menghiraukan sesuatu yang aku sendiri tahu artinya. Ku coba merubah diri, mencoba berubah aktif dalam kepasifanku yang maksimal. Setelah aku bangun, aku coba untuk mendekati orang tuaku, sedikit menstimulus mereka untuk selalu memaafkanku. Aku coba dengan membantu mencuci pakaian dan motor. Tak keluar sedikitpun kata dari mulut mereka, nampak sangat kesal. Seperti hal biasa yang terjadi padaku saat mereka kesal. Aku raih handuk, bergegas mandi, lalu shalat, sarapan, dan berangkat sekolah. Ku nyalakan motor setelahnya, ku tunggu sebentar sampai mesinnya panas lalu berangkat.

Hari itu hari jum’at, ingat sekali aku. Pemandangan monoton pesawahan kering tanpa padi tersaji dalam setiap perjalanan kosongku. Hari itu hampir sama dengan hari jum’at lainnya, atau hari-hari lain lainnya. Aku yang kosong, hatiku yang kosong, fikirku yang kosong, aku kosong. Beranjak setelah 5 km mengendarai motor, pemandangan kota tersaji, penuh dengan angkutan umum, dari roda dua sampai roda enam. Polusi dimana-mana, maka polisi pun dimana-mana. Parkiran di kanan jalan, pasar kaget di seberang jalan, orang-orang di sembarang jalan. Bunyi peluit sana-sini berdenging, aku tetap kosong, tiba-tiba sampai di depan gerbang masuk SMA. Dering bel pelajaran pertama terdengar. Ah untung, ruang parkir cukup lengang, memudahkanku memarkir motor.

Ah iya, aku teringat hari ini adalah hari pengumuman puisi yang masuk salah satu majalah pendidikan (tidak disebutkan). Majalah tersebut berisi tentang informasi pendidikan dan karya-karya pelajar, baik itu cerpen, artikel, maupun puisi. Majalah yang baru kudengar namanya karena ketidaktahuanku akan dunia perpustakaan.

Aku tersenyum kecil, teringatkan dulu aku pernah berharap puisiku dimuat. Hahaha... lucu memang. “Mana mungkin aku menang,” pikirku cukup optimis.

Suasana kelas yang ramai, guruku belum masuk. Anak-anak dengan senyumnya yang aku lihat, seperti tanpa beban. Eh, mungkin lebih tepatnya, tanpa kekosongan.

Kuayun-ayunkan kursi kebelakang dengan tolakan kaki ke depan meja. Haha, seperti duduk dikursi goyang rumah sendiri. Seperti biasa, sekadar mencoba menikmati hidup sambil menutupi kekosongan.

“Wah, sepertinya kamu menang, A, hehehe.” Oh, Sil rupanya. Ah, ia sangat terlihat ceria seperti biasa dengan senyum kekanak-kanakkannya.

Aku tersenyum lalu kami terbahak-bahak.

Wan menepuk pundakku, membuatku hampir jatuh dari kursi. Sepertinya pertanda guruku telah masuk. Pembicaraan kami terputus. Aku membenarkan posisi duduk.

“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” Salam pembuka guruku, mungkin sekaligus do’a untuk siswanya.

“Wa’alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.” Beberapa anak kompak menjawab.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline