Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Ali

Berdaulat Atas Diri Sendiri

Filsafat Bisa Bikin Gila, Benarkah?

Diperbarui: 2 Juni 2023   00:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Source: idntimes.com

"Apakah belajar filsafat itu bisa membuat orang jadi gila, hilang akal, telanjang lari-lari di pinggir jalan?" 

Hal ini merupakan suatu mitos yang berkembang diakar para kalangan pembelajar filsafat.  Dan di artikel kali ini kita akan mencoba mengupasnya. Jadi, ada suatu kepercayaan entah darimana asalnya tepatnya dikalangan masyarakat umum bahwa orang yang belajar filsafat itu bisa jadi sangat mungkin menjadi orang gila pada kemudian harinya. Sehingga orang yang terlalu memikirkan masalah-masalah filsafat itu akan tenggelam dalam kegilaan. 

Dan hal seperti ini kita temukan juga ditingkat Universitas. Jika kita belajar di kampus-kampus filsafat biasanya itu kita ketika masuk semester semester awal itu mendapat cerita-cerita dari kakak kelas. 

Salah satunya tentunya adalah cerita tentang siapa yang gila di angkatan kesekian. Selalu ada cerita bahwa di masa sekian atau bahkan di masa kita masuk itu ada kakak kelas kita yang mengalami gejala-gejala kejiwaan. Mulai jadi telanjang di kampus, kemudian teriak-teriak dan ketawa-ketawa sendiri di lapangan, dst. 

Gejala-gejala yang menunjukkan pada kegilaan itu seringkali dijumpai dalam kehidupan kampus filsafat di Indonesia dan itu bukan hanya di 1-2 kampus, namun saya juga menemukan di beberapa tempat yang paling tidak di SMP saya mengalami situasi seperti itu. Ada semacam kegilaan di dalam filsafat di kampus lain juga sama. Jadi, banyak sekali aneka bentuk ekspresi dari kegilaan. 

Nah, ini merupakan suatu hal yang menarik mengapa filsafat itu bukan hanya dikira dekat dengan kegilaan, tetapi juga di dalam prakteknya ketika kita belajar filsafat dia memang dekat dengan kegilaan. Bukan hanya sesuatu yang dikira orang saja.

Alasan mengapa demikian, mengapa filsafat itu mungkin dekat dengan kegilaan antara lain bisa jadi karena filsafat itu mempertanyakan segala sesuatu termasuk hal-hal yang kita terima sebagai common sense, sebagai akal sehat. Misalnya bahwa orang itu harus mengikuti aturan, bahwa orang itu harus patuh pada orang yang lebih tua, harus menolong orang lain, harus tidak mengganggu ketertiban umum dan seterusnya. 

Petuah-petuah yang kita terima itu kemudian dipertanyakan ulang oleh filsafat. Jadi, bukan hanya sekedar masalah etika seperti itu. Pasalnya, hakikat dunia saja dipertanyakan oleh filsafat, apalagi hanya sekedar perkara patuh pada orang tua atau mengikuti aturan masyarakat. Dan itu adalah semacam pedang bermata dua. 

Ketika orang diberi kebebasan untuk mempertanyakan hal yang paling mendasar dalam kenyataan, orang itu bisa disatu sisi menggunakannya untuk kemudian mencetuskan suatu teori yang baru, katakanlah secara produktif mau berkontribusi pada perkembangan diskusi filsafat tetapi bisa juga pada sisi lain dari mata pisau itu adalah yang menggunakannya untuk mengintrogasi keseluruhan hidupnya sampai akhirnya dia tidak tahu harus berbuat apa. 

Akhirnya jadi gila, telanjang dan seterusnya. Ada semacam pedang bermata dua yang dibawa oleh nalar kritis. Ketika kita kritis memandang sesuatu, kita juga kritis memandang ideal-ideal diri kita sendiri. Ketika kita sudah bisa kritis terhadap ideal-ideal yang kita sayangi sendiri, cita-cita kita yang besar itu, maka sebetulnya kita seperti kehilangan landasan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline