Kobaran api memerah. Kepulan asapnya membubung ke angkasa. Seakan hendak mengejar awan. Lidah api masih mengibas dan terus membakar. Siraman air dari beberapa orang yang membantu tak mampu redakan lidah api yang masih terus menjilat bangunan. Teriakan tolong bak koor dari para Ibu-ibu dan kaum perempuan tak mampu meredakan jilatan lidah api yang terus membara.
Dan hanya dalam waktu yang singkat bangunan milik orang terkemuka di Desa itu rata dengan tanah. Padahal bangunan itu akan dipakai untuk perhelatan ijab kabul putri pemilik gedung besok pagi.
Dikejauhan, senyum kemenangan mengembang dari bibir seorang lelaki muda. Sambil menjauh dari lokasi api, langkahnya pasti seakan-akan menyiratkan sebuah kemenangan besar malam ini. Senyum purnama malam pun kalah benderangnya dengan senyum yang terus dikibarkannya. Siulan dari sebuah lagu dari bibir tipisnya menandakan bahwa dirinya adalah seorang pemenang. Ya, Seorang pemenang.
Setidaknya sudah hampir dua puluh satu tahun dirinya memendam amarah yang amat luarbiasa yang menjalar dari ujung rambut hingga kakinya. Setidaknya malam ini kesumat itu terbalaskan walaupun dengan cara-cara yang biadab. Cara-cara tak biasa.
Nasehat dari sang Ibu tak mampu redakan dendam yang membara dalam raganya.
" Walaupun Tuan Ali tidak mengakuimu sebagai anaknya, tapi kamu adalah darah dagingnya. Semua orang di Desa ini tahu itu. Jadi buat apa kamu membenci lelaki itu," ungkap Ibunya. Lelaki muda yang bernama Kodir hanya diam membisu. Membisu. Mematung. Tak ada sepatah kata pun meluncur dari mulutnya. Hanya tatapan matanya yang menandakan sebuah perlawanan. Tatapan penuh amarah dan dendam.
Dan Kodir tahu, nasehat itu selalu didengarnya. Nasehat itu sudah didengarnya, sejak dia masih dalam kandungan hingga kini beranjak menjelma sebagai lelaki dewasa. Namun kesumat yang dialaminya selama dua puluh satu tahun ini tak mampu diredakan kalimat bijak sang Ibu. kalimat bijak itu tak mampu menahan amarahnya sebagai seorang manusia yang berharkat.
" Ibu tahu bagaimana lelaki tua itu telah mempermalukan kita. Telah merendahkan martabat Ibu sebagai perempuan. Telah membuat kita tak memiliki harga diri. Dasar lelaki bajingan," ujarnya.
" Lelaki itu tak salah Nak. Ibu yang salah. Dan apapun yang telah terjadi dia adalah bapakmu. Lelaki itu adalah bapakmu. Dan semua orang Kampung tahu," ungkap Ibunya.
Wanita setengah baya itu seolah teringat dengan kejadian dua puluh tahun yang silam, dimana sebagai seorang kembang Desa, dia harus menerima kenyataan tentang hidup. Lelaki yang bernama Ali itu adalah seorang kepala Kampung dan berkuasa.
Hartanya melimpah. Tanahnya luas membentang dari ujung Desa hingga perbatasan dengan Desa sebelah. Dan sebagai wanita dia merasakan getaran cinta saat ditatap Ali yang berwajah flamboyan itu. Wanita mana yang tak tergetar saat ditatap matanya oleh ali yang rupawan dan berkuasa pula.
Wanita setengah baya itu masih ingat ketika suatu pagi saat hendak berangkat ke sawah, dia dibonceng oleh Ali hingga ke tempat kerjanya. Dan wanita itu kembali terkaget-kaget saat pada suatu malam, Ali datang ke rumahnya untuk berkenalaan dengan keluarganya yang tergolong bukan dari kalangan berada.