Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Narasi Ritmis dari Irama Gerimis

Diperbarui: 18 Januari 2020   19:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://images.pexels.com

Narasi ritmis menyelinap di dalam benak yang berusaha keras menyimak irama gerimis yang sangat eksotis.

Aku berada di sana. Saat langit coba menyamarkan usianya yang menua, dengan memakai maskara hitam dari mendung yang begitu kelam. Ia berdandan. Di hadapan zaman yang terus menerus mengikis kepercayaan. Bahwa peradaban yang berlarian, bukan seperti rusa yang diburu singa. Menabrak dan menubruk apa saja.

Barangkali ini sebuah musikalisasi hujan dan panggung teatrikal dari cuaca yang menginginkan keadilan bersahaja. Jangan sampai musim yang melindap diartikan sebagai bagian dari semesta yang jatuh dalam gelap. Hutan-hutan yang cedera, lautan yang tersayat-sayat luka, dan sungai-sungai yang sekian lama mengalirkan rasa was-was akan marabahaya, tidak serta merta menjadi akhir dari segalanya.

Dunia ternyata hanya bisa dibagi dua. Menjadi bunga atau keranda. Tergantung bagaimana keputusan orang-orang dalam memilih; membuat taman, atau justru membesarkan pemakaman.

Dunia juga punya rencana-rencana bagaimana cara menarasikan rahasia. Entah melalui bencana, peperangan, atau genosida.

Dan kita hanya mampu terdiam seribu bahasa. Di tengah-tengah keramaian percakapan para malaikat pencabut nyawa.

Bogor, 18 Januari 2020




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline