Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Setumpuk Rindu dan Batu-batu

Diperbarui: 26 Januari 2019   23:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Pada lembaran masa silam
kita pernah lupa berkirim salam
kepada pesisir pantai yang pernah mempertemukan kita
berdua saja, di sela angin laut yang sibuk mengeja
berapa banyak sayap-sayap lentur camar yang berlintasan dengan ujung dermaga

kita terlalu mudah melupakannya
padahal di sanalah aku menuliskan sajak pertama
dan kau membacanya dengan keseriusan seorang pertapa
lalu di antara lirih debur ombak
dan gemuruh detak jantung yang mendadak saja begitu cepat menyemak
kita saling menyapa
dengan cara sama-sama kikuk memandangi senja yang menua

Pada halaman yang terbuka di masa sekarang
kita nyaris saja tumbang dipermainkan gelombang
kita sibuk menegakkan kembali tiang layar yang berpatahan
menambalnya dengan air hujan
ditambah sekian tetes airmata yang berjatuhan
juga kemudi yang berselisih jalan dengan navigasi
padahal kita sempat kehilangan matahari

Tapi,
tak ada sama sekali cerita cinta yang tak bergerigi duri
itu hanya ada pada hikayat renta
ketika cinta dan zaman dulu masih sama-sama muda dan tak paham perkara

Jadi,
jangan khawatirkan ceruk yang menganga seumpama ngarai tanpa tepi
kita bisa melewatinya
jika kita tahu persis apa yang ada di seberang sana

Yaitu,
setumpuk rindu dan batu-batu
yang ditata serapi rumpun bambu
menjadi rumah tempat kepulangan
setelah begitu lama kita menunda rencana keberangkatan

Bogor, 26 Januari 2019




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline