Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Senja Kehilangan Warna

Diperbarui: 15 April 2017   07:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Senja terbangun dengan terheran heran.  Kemana warna merahnya pergi.  Tak mungkin dia menampilkan diri seadanya.  Dia adalah anak hari yang tak boleh ternoda.  Telah diberi bagian warna.  Tak boleh berganti rupa seenaknya.  Lagipula manusia di bawah sana,  selalu mengharapkan kedatangannya, dengan warna yang sama setiap kalinya. 

Dia harus menuntut siapa.  Bisa jadi matahari terlalu memutihkan diri, enggan mengalah, enggan pergi.  Atau bisa juga malam terlalu tergesa gesa dengan hitamnya, tak mau kalah, tak mau menyerah.  Senja menggeleng gelengkan kebingungannya. 

Matanya lalu jelalatan kesana kemari.  Dia harus mencari biang kerok yang telah mencuri.  Di setiap teluk, dia jenguk, yang ada hanya kediaman mengangguk angguk.  Di setiap selat, dia lihat, yang ada hanya gelombang menjilat jilat.  Di setiap laut, dia pagut, yang ada hanya alis mata yang mengkerut.

Daratan pasti tak punya keinginan mengambil merahnya.  Mereka lebih suka gunungnya menghijau.  Tanahnya bercoklat hitam.  Sawahnya menguning emas.   Sungainya menjernih bening.  Manusianya serba abu abu.

Senja hampir putus asa.  Jika begini terus, dia akan mengadu kepada Tuhan.  Jalan terakhir jika tak ada lagi pikir.  Jalan terbaik jika semuanya terlalu pelik.  Lalu senja melepaskan tatapan matanya ke seantero bumi untuk kesekian kali.  Berjumpa dengan merah berlelehan di mana mana.  Irak, Syiria, Sudan, dan Yaman.  Merah mendanau di padang pasir mereka, kota kota mereka,  tubuh tubuh mereka. 

Senja menjerit sekeras ribuan gempa.  Ini merahnya!  Dia tidak rela!

Bogor, 14 April 2017     




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline