Lihat ke Halaman Asli

Miarti Yoga

Konsultan Pengasuhan

Meluruskan Persepsi tentang Penafsiran Anak Hebat

Diperbarui: 19 Juni 2020   10:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Oleh: Miarti Yoga

Bukan tak ada.  Pro kontra penafsiran tentang anak hebat atau anak cerdas atau anak pintar atau anak genius. Banyak sekali diantara kita yang masih pragmatis atau terlalu praktis dalam membuat ukuran. Seolah-olah, mereka yang dikatakan hebat adalah mereka yang mampu melampaui ujian sekolah dengan skor nilai yang paling maksimal. Seolah-olah, mereka yang saat masih berada di bangku SD tak dapat mempersembahkan rangking terbaik, diprediksi bahwa masa depannya tak akan secerah anak lain yang nilainya dianggap super.

Padahal fakta tak selamanya demikian. Prediksi tak berarti sebuah hasil analisis. Vonis tak berarti adil untuk masing-masing anak. Kondisi minoritas seorang anak pada saat masih kecil, tak menjamin gambaran yang sama saat sudah dewasa kelak.

Maka seharusnya kita berhenti menyalahkan mereka yang hari ini kesulitan belajar atau terlambat perkembangan logis matematisnya. Seharusnya kita berhenti dari keputusasaan, saat melihat seorang anak yang masih belum bisa berhitung dengan benar, saat melihat seorang anak yang masih terlambat menyeelsaikan tugas, saat melihat seorag anak yang nilai akademiknya di bawah rata-rata.

Karena di balik kondisi belum matangnya, masih terlimpah kemampuan yang bisa dilesatkan. Kemampuan menata diri, misalnya. Kemampuan mengontrol emosi, kemampuan membuat sebuah produk karya, kemampuan mencipta, kemampuan membidangi sesuatu, dan atau sejenisnya.

Bahkan ada sebuah kondisi yang sangat ekstrem dimana seorang anak SD tak sanggup melanjutkan kewajibannya bersekolah di jenjang formal. Pada pertengahan kelas V (lima), ia memutuskan berhenti sekolah dan memilih jalan hidup tersendiri. Ia megikuti salah satu tetangganya yang sudah senior dalam dunia jual beli.

Tanpa berbekal ijazah kelulusan, bahkan tanpa kemampuan baca tulis, ia menekuni jual beli onderdil mobil hingga omzet penjualannya mencapai puncak. Merangkak, tertatih, berjalan mulus, hingga berlari melampaui kondisi finansial keluarganya. Pada akhirnya, dirinya menjadi solusi finansial bagi keluarganya. Berubahlah nasib keluarganya yang semula hanya keluarga biasa dengan banyak keterbatasan, menjadi keluarga yang berkecukupan. Pun dengan strata sosial.

Berbekal pengalaman bergaul dan membuat relationship, didukung dengan kondisi ekonomi yang cukup bergaransi bagi banyak orang, maka ia pun tampil sebagai seorang yang memiliki banyak kolega. Ia mampu hidup layak dan dihormati oleh banyak orang di banyak tempat.

Sebaliknya, seorang mantan juara umum di sebuah SMA, nampak galau pasca dirinya dinobatkan sebagai lulusan mahasiswa Fisika di sebuah Universitas negeri terkemuka. Apa sebab, sehingga dirinya menjadi galau dan merasa tak tentu arah. Alasannya adalah karena ia merasa tak cukup berani untuk memulai berkarya. 

Pikirannya tak cukup terbuka untuk menggeluti kehidupan yang sesungguhnya. Apakah harus melamar pekerjaan, apakah harus berkarier, apakah harus berwirausaha. Pada akhirnya, dalam rentang sekian tahun pasca lulus dari universitas, tak ada aktivitas yang ia geluti alias menganggur. Seolah ia telah kehilangan kesempatan untuk berkarier. Mentok. Bingung.

Fakta kegalauan pasca lulus kuliah ini memang tak bisa disimpulkan sebagai kondisi percuma mengikuti pendidikan. Tidak. Tidak demikian. Pun dengan kasus seorang pedagang ulet yang tak menyelesaikan jenjang Sekolah Dasarnya. Tak bisa disimpulan bahwa anak-anak kita tak perlu mendapatkan pengalaman akademis. Karena ini hanyalah sebuah kasuistik yang dapat kita jadikan sebagai ladang tafakur.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline