"Bun, nonton JUMBO ya. Pakai uang THRku saja." Celetuk anak sulung yang tahu soal JUMBO via media sosial. Apalagi saat libur Lebaran memang ada keluarga yang menyinggung soal film animasi buatan Indonesia satu ini.
Rencananya nonton di kota tempat kami mudik, tetapi ternyata kami balik dari mudik sebelum film JUMBO mulai ditayangkan di bioskop. Padahal sebenarnya saya bisa saja ikutan nonton sebelumnya hanya saja waktu itu banyak kendala sehingga melewatkan kesempatan. Nah, setelah baca ulasan dari teman Kompasianer yang sudah ikutan nonton lebih awal, saya pun makin menjadikan momen nonton ini sebagai salah satu agenda liburan anak-anak.
Alhamdulillah ayahnya mau ikut nonton dan itu membuat anak-anak bahagia. Soalnya, jarang sekali sang ayah mau diajak keluar bersama karena workaholic. Namun, beruntung waktu itu mau ikut dan sudah pasti urusan camilan dan perut diatasi dengan baik kalau sang ayah ikutan, haha.
***
Tibalah saatnya kemudian kami nonton. Saya yang membawa anak usia 2.5 tahun, 5 tahun dan 10 tahun sempat khawatir. Apalagi semuanya aktif luar biasa. Namun, sungguh di luar dugaan bahwa mereka anteng meski sesekali yang paling bungsu ingin turun dari kursi. Maklum, usianya memang belum bisa fokus terlalu lama terhadap sesuatu. Makanya saya selalu siasati dengan camilan, dipangku bahkan saya berusaha menidurkan jika memang dia mau.
Bahagianya, mereka sangat senang. Apalagi ketika mendengar lagunya menggema seantero bioskop. Anak kedua yang suka nyanyi pun menyimak dan tidak harus menunggu lama, setelah keluar dari bioskop lagunya sudah nyantol untuk dinyanyikan bersama dengan kakak dan adiknya.
Untuk yang bungsu juga paling lucu, karena sibuk mengamati bibir JUMBO dan pemain lain yang punya karakter unik masing-masing sehingga membekas dalam ingatannya.
Foto Pribadi @katalensaku
Kesan Saya sebagai Orang Tua yang Pernah Melewati Masa Kecil
Saya tidak tahu apa jadinya ketika nasib seperti Don, tokoh utama dalam film JUMBO ini. Ditinggal orang tua di usia yang masih sangat muda tentu ada luka yang mendalam tetapi tak tampak tetapi rasanya sangat menyesakkan. Ketika berada di lingkungan sosial tidak diterima bahkan tidak ada yang mau mendengar, itu sungguh sebuah kekecewaan dan menjadi luka.
Ternyata memang benar jika ingin didengar maka jadilah pendengar terlebih dahulu. Jangan menuntut sesuatu yang lebih sementara kita tak bisa memberikan kebaikan minimal yang sama. Sebab hukum tarik-menarik di mana pun akan selalu ada dan terjadi.