Di ruang kerja modern, komunikasi bukan lagi sekadar menyampaikan informasi. Ia telah menjadi seni bertahan, seni membangun relasi, dan kadang, seni menyelamatkan diri.
Di antara berbagai gaya komunikasi yang berkembang, dua istilah sering muncul dan kerap disalahpahami: sugar coating dan lip service.
Sugar coating & lip service. (Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal diolah dengan Generative AI)
Keduanya terdengar manis, namun dampaknya bisa sangat berbeda, baik secara etis maupun fungsional.
Sugar Coating: Kejujuran yang Dibungkus Empati
Sugar coating adalah cara menyampaikan kritik atau fakta pahit dengan kemasan yang lebih halus dan bisa diterima. Tujuannya bukan untuk menipu, melainkan untuk menjaga hubungan, menghindari konflik langsung, atau memberi ruang refleksi tanpa melukai.
Contohnya sederhana:
"Presentasimu sudah cukup bagus, mungkin bisa lebih kuat kalau data pendukungnya ditambahkan sedikit."
Di sini, kritik tetap tersampaikan, namun dengan nada yang membangun. Sugar coating menjadi jembatan antara kejujuran dan empati, terutama dalam lingkungan kerja lintas generasi, di mana gaya komunikasi bisa sangat berbeda.
Sugar coating bukan basa-basi, melainkan strategi komunikasi yang mempertimbangkan konteks sosial dan psikologis.
Lip Service: Janji Manis Tanpa Makna