Di tengah riuh rendah ketidakpastian global, Indonesia menutup pekan ini dengan nada optimis.
Seakan menari di antara badai, dua indikator utama pasar keuangan, rupiah dan IHSG, menunjukkan penguatan yang tak hanya menggembirakan, tetapi juga mengandung pesan strategis: bahwa ketahanan bukanlah sekadar bertahan, melainkan kemampuan membaca peluang di tengah tekanan.
Rupiah: Menguat di Tengah Bayang-Bayang Pemangkasan FFR
Hari Jumat, 3 Oktober 2025, rupiah ditutup menguat 35 poin ke level Rp16.563 per dolar AS. Penguatan ini bukan sekadar angka, melainkan cerminan dari ekspektasi pasar terhadap arah kebijakan moneter Amerika Serikat.
Ketika bayang-bayang government shutdown dan perlambatan ekonomi AS mulai terasa, pasar mulai berspekulasi bahwa The Fed akan memangkas suku bunga acuannya (Federal Funds Rate/FFR).
Menurut proyeksi S&P Global, pemangkasan sebesar 25 basis poin diperkirakan terjadi sebelum akhir tahun, dengan tambahan 50 bps di tahun 2026.
Ekspektasi ini mendorong investor global untuk mencari aset yang lebih stabil dan berimbal hasil menarik, dan Indonesia, dengan kebijakan pro-growth dan stabilitas fiskal yang relatif terjaga, menjadi salah satu tujuan.
Namun, penguatan rupiah bukan semata hasil dari dinamika eksternal. Sentimen domestik juga berperan besar.
Komitmen pemerintah dan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas makroekonomi, serta sinyal positif dari sektor riil, memberi kepercayaan tambahan bagi pelaku pasar.
IHSG: Menguat Seiring Bursa Asia, Sektor Teknologi Memimpin
Di lantai bursa, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga menutup pekan dengan penguatan signifikan. IHSG naik 47,22 poin atau 0,59% ke level 8.118,30.
Penguatan ini terjadi seiring dengan tren positif di bursa kawasan Asia, seperti Nikkei Jepang dan Shanghai China, yang turut mengangkat sentimen regional.