Ketika kita mendengar istilah UMKM, pikiran kita sering langsung tertuju pada warung kelontong di depan rumah, pedagang bakso keliling, atau toko kue rumahan.
Padahal, di balik singkatan itu tersembunyi tiga entitas bisnis yang sangat berbeda satu sama lain: Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
Menyamakan ketiganya hanya karena satu istilah populer, ibarat menyatukan awan di langit dengan tanah di bawah kaki larena jaraknya terlalu jauh, realitasnya sangat berbeda.
Usaha Mikro: Bertahan dari Hari ke Hari
Bayangkan seorang ibu yang setiap pagi menggoreng pisang untuk dijual di depan rumahnya. Dengan omzet maksimal Rp 300 juta per tahun (sekitar Rp 25 juta per bulan, atau kurang dari Rp 850 ribu per hari) dan aset di bawah Rp 50 juta, bisnis ini benar-benar menjadi gantungan hidup keluarga.
Strategi pemasaran mereka sederhana:
- Mengandalkan pembeli sekitar rumah atau pasar terdekat.
- Harga murah jadi daya tarik utama.
- Promosi dilakukan lewat mulut ke mulut atau status WhatsApp.
Belanja di Usaha Mikro, Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal
Bagi mereka, setiap pelanggan adalah rezeki, dan loyalitas konsumen dibangun dengan keramahan serta konsistensi rasa, bukan dengan iklan profesional.
Usaha Kecil: Mencoba Menata Langkah
Naik satu tingkat, kita bertemu dengan usaha kecil. Misalnya, sebuah toko roti yang sudah memiliki beberapa pegawai dan mulai menjual produknya di pasar modern. Dengan omzet Rp 300 juta - Rp 2,5 miliar per tahun dan aset Rp 50 juta - Rp 500 juta, usaha ini sudah lebih mapan.
Strategi pemasaran mulai berkembang:
- Menggunakan kemasan menarik dan logo sederhana.
- Menyasar komunitas lokal atau pasar niche tertentu.
- Mulai masuk ke marketplace (Shopee, Tokopedia) atau mencoba iklan digital berbiaya kecil.
Pemasaran Usaha Kecil, Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal