Pelemahan rupiah kembali menjadi sorotan utama dalam perekonomian Indonesia. Di hari-hari terakhir Ramadan, menjelang Lebaran, nilai tukar rupiah mengalami tekanan berat terhadap dolar Amerika Serikat (AS), bahkan sempat menyentuh level Rp16.640 per USD, titik terlemah dalam sejarah.
Berdasarkan data Refinitiv pada 25 Maret 2025 pukul 10:13 WIB, rupiah anjlok 0,51% ke level Rp16.635 per USD, lebih buruk dibandingkan posisi terendah sebelumnya pada 23 Maret 2020 di angka Rp16.550 per USD.
Jika tren ini berlanjut hingga penutupan perdagangan, maka ini akan menjadi pelemahan rupiah terdalam dalam sejarah berdasarkan closing candle.
Nilai tukar rupiah mengalami tekanan berat, Sumber: Dokumentasi Merza Gamal diolah dengan Generative AI
Menanggapi kondisi ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa pemerintah tidak akan panik dan tidak melihat pergerakan kurs secara harian. "Ya kita kan monitor, bukan cuma daily," ujarnya di Jakarta, Selasa (25/3/2025).
Airlangga juga memastikan bahwa pemerintah akan terus menjaga fundamental ekonomi agar tetap kuat dan menyerahkan tugas stabilisasi nilai tukar sepenuhnya kepada Bank Indonesia (BI).
Namun, apakah pendekatan ini cukup untuk meredam gejolak di pasar? Atau justru pasar membutuhkan langkah yang lebih konkret dan proaktif?
Dua Faktor Utama: Eksternal dan Internal
Pelemahan rupiah tidak terjadi dalam ruang hampa. Ada dua faktor utama yang berperan: tekanan eksternal dari dinamika global serta ketidakpastian kebijakan di dalam negeri.
Tekanan Global: Suku Bunga The Fed dan Risiko Capital Outflow
Di tingkat global, kebijakan moneter ketat yang diterapkan The Federal Reserve (The Fed) menjadi salah satu pemicu utama. Dengan suku bunga yang tetap tinggi untuk menekan inflasi di AS, investor global lebih memilih menempatkan dananya di aset berbasis dolar yang dianggap lebih aman dan menguntungkan.
Akibatnya, terjadi capital outflow besar-besaran dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Rupiah yang sebelumnya cukup stabil mulai mengalami tekanan, terutama karena permintaan dolar meningkat untuk transaksi impor, pembayaran utang luar negeri, dan kebutuhan sektor korporasi.