Lihat ke Halaman Asli

Merza Gamal

TERVERIFIKASI

Pensiunan Gaul Banyak Acara

Ternyata, Kesehatan Mental Pekerja di Asia di Atas Rata-rata Masalah Global

Diperbarui: 12 Oktober 2022   09:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image:  Variabel hasil terkait pekerjaan: kelelahan,depresi, dan tantangan kecemasan Pekerja Asia (File by Merza Gamal)

Saat ini para pekerja di seluruh dunia menjadi lebih stres dari sebelumnya, mengalami tingkat kesehatan mental yang buruk dan kelelahan bekerja (burnout). Para pekerja merasakan tekanan dan terpukul keras oleh pandemic. Mereka tidak hanya harus mengelola kecemasan kesehatan dan pembatasan COVID-19, tetapi juga peningkatan beban kerja dan ketidakpastian pekerjaan.

Penelitian McKinsey Health Institute terbaru tentang kesehatan mental di tempat kerja menemukan satu dari empat pekerja di seluruh dunia mengalami gejala kelelahan. Di Kawasan Asia, angka itu bahkan lebih tinggi yakni mendekati satu dari tiga. Karyawan wanita dan pekerja garis depan di wilayah Asia melaporkan tingkat kelelahan, gejala depresi, dan kesusahan yang lebih tinggi daripada rekan-rekan global mereka (bersama dengan tingkat gejala depresi dan kesusahan yang lebih tinggi daripada karyawan pria, sebuah fenomena umum di seluruh dunia). Banyaknya pekerja yang melaporkan gejala depresi dan kecemasan, jelas bahwa tantangan tempat kerja yang nyata dan mendesak dihadapi di wilayah Asia, termasuk Indonesia.

Menurut laporan Forbes, wilayah Asia-Pasifik sangat menarik dalam hal kesehatan mental. Sebuah studi tentang depresi dan produktivitas tempat kerja menunjukkan bahwa "rata-rata biaya per orang per tahun untuk ketidakhadiran adalah yang terendah di Korea Selatan dan tertinggi di Jepang." Namun, secara keseluruhan, banyak bukti yang menunjukan bahwa pekerja di tidak sehat secara mental, terutama sejak pandemi melanda dunia.

Sebuah survei yang dilakukan oleh City Mental Health Alliance pada September 2020 menunjukkan bahwa 1 dari 4 pekerja di Hong Kong mengalami masalah kesehatan mental dalam satu tahun terakhir. Sementara itu, Association of Small & Medium Enterprises (ASME) melaporkan di Singapura pada Oktober 2020 terdapat "86,5% orang yang bekerja tidak mencari bantuan untuk kesehatan mental di Singapura karena stigma di sekitarnya."

Dalam ulasannya, Forbes terkait hal tersebut menyampaikan bahwa pengusaha yang ingin mendukung karyawan di Asia harus mengingat dua masalah yang terkait dengan konteks sosial dan budaya kawasan: stigma dan kerja berlebihan.

Walaupun Indonesia tidak termasuk negara yang disurvei, tapi rasanya bukan berarti para pekerja di Indonesia tidak mengalami hal yang dirasakan rekan-rekanny di negara lain. Sebuah survei singkat oleh Tempo.co menemukan bahwa 72,4 persen dari 2.700 pembaca yang berpartisipasi dalam survei tersebut mengaku memiliki masalah kesehatan mental. 

Sejalan dengan hasil survei Tempo tersebut, Kementerian Kesehatan RI juga mencatat pada tahun 2020, 18.000 orang mengalami gangguan jiwa, 23.000 menderita depresi, dan 1.163 percobaan bunuh diri. Oleh karena itu, pemerintah telah memberikan layanan telemedicine melalui aplikasi bernama Sehat Jiwa, di mana pekerja dapat melakukan konsultasi dan konseling gratis untuk mengatasi stres di tempat kerja. Di samping itu, terjadi pula peningkatan kasus kecemasan 6,8% dan depresi 8,5%. 

Dengan demikian, dampak dari stresor tersebut sekarang terlihat dan khususnya di Asia, di mana tingkat kelelahan lebih tinggi daripada norma global. Dan tidak menutup kemunkinan di Indonesia terjadi hal yang serupa dalam jumlah yang signifikan.

Stigma yang dihadapi oleh para pekerja dengan penyakit mental sangat lazim di negara-negara Asia dan bertindak sebagai penghalang utama untuk pemanfaatan layanan kesehatan mental. Stigma secara langsung terkait dengan pengetahuan kesehatan mental yang terbatas di kalangan pekerja. Dan hal ini, sebenarnya merupakan area di mana pemberi kerja dapat memainkan peran penting.

Kesadaran masyarakat yang rendah, termasuk para pekerja, seperti dalam kasus China dan Hong Kong, di mana responden survei melaporkan tidak pernah menerima pendidikan tentang kesehatan mental dan hanya mengetahui sedikit tentang penyebab, pengobatan, dan pencegahannya. Selain itu, menurut sebuah studi tahun 2019 dari Oliver Wyman-City Mental Health Alliance 92%, responden percaya bahwa pemberi kerja tidak menyediakan sumber daya yang cukup untuk mendukung kesejahteraan staf di Hong Kong.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline