Lihat ke Halaman Asli

Meifrizal

yang di ambang batas, ada apa?

Bukan Filosofi Hujan, tapi...

Diperbarui: 26 September 2021   21:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi pribadi

Hujan jatuh ketika tak butuh

Hujan jauh rindu menabuh

Hujan, kita tidak tahu apakah ia menjadi bagian semesta secara utuh. Apakah ia jatuh di langit planet antah-berantah, atau juga bertamu ke semesta lain. Hujan menjadi bagian yang pasti dari planet nan biru (bumi) jauh sebelum manusia purba ada.

Tulisan ini ditulis, ketika hujan seperti mabuk dan lupa ada seekor ayam meringkuk di bawah pohon durian montong yang tumbuh di depan rumah. Sesekali sayapnya yang ia jatuhkan ke tanah bergerak-gerak. Sesekali sampai juga ke telinga cericit anaknya yang kedinginan, "hus! Tenanglah nak. Hujan semakin menggila. Semoga air tidak mengejar kita."

Hujan secara harfiah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah titik-titik air yang berjatuhan dari udara karena proses pendinginan. Kata hujan sangat akrab di telinga kita, bahkan dalam Bahasa Indonesia sendiri banyak ditemukan gabungan kata, sampai peribahasa yang memakai kata hujan dengan makna yang sangat beragam. Hujan sepertinya laris di quote dan caption-caption media sosial, dan mengingatkan penulis akan satu kalimat ungkapan nyeleneh saat penulis kuliah dulu: Tunggu aku, aku akan datang kalau hujan tidak turun.

Seperti sebuah aturan yang tidak sengaja dikonsensuskan, hujan menjadi sebuah kesepakatan primer manusia, bahwa ia dinanti, diharapkan, dicari, bahkan menjadi paradoks bahwa ia akan dihindari. Ada dua unsur muncul di sini, pertama hujan menjadi sebuah kebutuhan, kedua hujan tidak selalu diharapkan. Saat musim kemarau berkepanjangan, hujan menjadi fenomena alam yang ditunggu kehadirannya untuk mengusir udara kering sehingga menyejukkan, mengairi sawah-sawah penduduk untuk menghindari dari gagal panen yang menakutkan, menyelusup ke dalam tanah menjadi air tanah yang nantinya dengan proses tertentu akan dimanfaatkan manusia untuk kebutuhannya, dan seabrek manfaat lainnya. Namun hujan menjadi tidak diharapkan ketika ia turun tiada henti, karena menjadi penyebab bencana alam yang menimbulkan kerugian tak terhingga, baik materil dan moril bagi manusia.

Banyak filosofi hujan, tapi tulisan ini bukan untuk itu. Tulisan ini terinspirasi dari ucapan seseorang ketika penulis pergi kondangan, "Hujan, hujan lagi. Kasihan si empu rumah, pestanya megah, tapi sepi karena hujan tidak berhenti. Harusnya pakai pawang hujan." Pemantik ini mengingatkan penulis akan beragamnya budaya Indonesia, bahkan dunia. Nenek moyang kita tidak pernah menyepakati melalui perjanjian tertulis, bahkan belajar melalui informasi online. Mereka belajar melalui kearifan lokal masing-masing, mereka tahu ada satu zat yang sangat berkuasa. YANG KEKAL.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline