Lihat ke Halaman Asli

Lilin

Perempuan

Aku, Kenangan, dan Wajah Asing

Diperbarui: 30 Juli 2021   23:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam kian tinggi, langit cerah dengan taburan batu-batu langit berwarna keperakan di belakang rembulan yang melayang. Bayu berembus sedang. Meskipun begitu sepanjang jalanan ini tak pernah sepi. Begitulah setiap malam ada saja orang duduk dan berkumpul memenuhi bangku-bangku beton trotoar. Ada yang duduk sambil menghisap rokok dalam-dalam, bersenda gurau dan mengobrol dengan teman-temannya, ada yang sekedar menikmati malam dengan menyantap makanan di warung-warung pinggir jalan. Menandakan betapa riuh keadaan bagi mereka yang berteman. Tetapi tidak bagi diriku ....

Sementara di kejauhan suara deru kendaraan terdengar jarang-jarang. Aku rasa kedatangan mereka kesini bukan hanya sekedar mencari minuman hangat dan makanan saja, atau hanya sekedar menikmati selinting rokok dengan penuh kebebasan. Namun lebih karena suasana yang begitu rileks dan damai untuk jiwa-jiwa yang terbelenggu aturan norma-norma kesusilaan. 

Dulu aku kerap melewati tempat ini bersama kekasihku, ketika waktu beranjak sore. Dengan semilir angin dan seribu kisah-kisah cinta yang dikisahkan waktu kepada kami. Kemudian saat kisah tentang kesetiaan orang-orang yang dipertaruhkan di meja cafe bersama botol-botol bir kosong di depan perut wanita cantik berkutang merah. Kami saling terdiam menikmati malam yang mulai menghinggapi pikiran kita dengan sendiri. Lantas kembali pulang dengan wajah-wajah asing. 

Ada satu kisah yang masih kuingat hingga saat ini. Malam itu, tiba-tiba aku ingin pergi ke sini. Kemudian saat hampir sampai di depan pintu kaca, Pipit mengusirku pergi. Ia ingin aku pergi jauh, tidak seperti biasanya dia selalu mendukungku dalam segala hal. Tetapi entah mengapa malam itu dia tiba-tiba menjadi kawan sekaligus musuh pertamaku di tempat ini. Memang itulah yang aku inginkan, aku berpendapat jika dengan tidak memiliki satu teman di dunia ini adalah yang terbaik. Aku akan menjadi terbiasa mengambil keuntungan tanpa sedikitpun merasa sungkan dan perasaan tidak enak. 

Lebih kurang satu jam Kami saling beradu mulut. 

"Han, kamu pulanglah. Tidak usah dekat-dekat dengan tempat ini!" kata pipit tegas setelah dia berhasil menyeretku ke pintu pagar. 

"Jauh-jauh!" Mata pipit membulat penuh amarah.

"Tidak, aku mau menjadi sepertimu. Barangkali dengan bekerja bersama beban hidup ini akan menjadi lebih ringan."

"Bodoh, pokoknya pulang sekarang!" potongnya tiba-tiba masih penuh amarah.

"Dasar egois ... ngomong aja kamu takut tersaingi olehku." 

"Anjing, kau Han. Terserah apa yang kau ingin. Mulai saat ini anggap saja aku sudah mati." Pipit kemudian menyulut sebatang rokok dan meninggalkan aku kembali ke ruangan kaca berukuran empat meteran persegi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline