Lihat ke Halaman Asli

Dicki Andrea

A Full Stack Developer | Learner

3 Maret 1924, Mengenang Runtuhnya Khalifah Utsmaniyah

Diperbarui: 3 Juli 2021   00:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengenang Runtuhnya Khalifah Utsmaniyah (unsplash/abdullah-oguk)

Pada tanggal 3 Maret 1924 Khilafah Utsmaniyah atau juga dikenal dengan Kesultanan Turki Ustmani (Ottoman) runtuh. Kejayaan islam yang sudah tegak berdiri sejak 13 abad yang lalu dan menguasai 2/3 wilayah dunia tersebut saat ini hanya bisa menjadi fakta sejarah yang tak bisa dilupakan oleh umat manapun.

Umat islam yang dahulu bersatu dibawah penerapan syariat Islam secara penuh dengan Al-Quran sebagai dasar negara hancur tercerai-berai menjadi lebih dari 50 negara. Umat islam yang dahulu disegani dan dihormati saat ini tak lebih jadi bahan fitnah dan target kebencian umat-umat lain. Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah menjadi awal penderitaan umat islam saat ini.

Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah sendiri terjadi begitu kompleks dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama hingga akhirnya benar-benar runtuh dengan ditandainya deklarasi perubahan system pemerintahan menjadi Republik oleh Mustafa Kemal Attaturk. Alur sejarah tersebut dapat kita telusuri dari berbagai sumber yang secara garis besar akan sama, bahwa Khilafah terlibat Perang Dunia I di Blok Poros melawan Blok Sekutu.

Baca juga : Palestina, Khilafah, dan Upaya Mewujudkan Perdamaian

Dalam perang itu Blok Poros akhirnya menjadi pihak yang kalah dan sebagai konsekuensinyaa mereka dipaksa untuk menerima syarat-syarat perdamaian yang kemudian memicu runtuhnya Khilafah Utsmaniyah.

Mengutip pemaparan sejarah dari Eugene Rogan dalam bukunya berjudul "The Fall Of The Khilafah". Setelah kekalahannya di Perang Dunia I, khilafah dituntun untuk melakukan pembagian wilayahnya ke tangan sekutu. 

Mereka harus melepaskan seluruh wilayah Arab, kemudian wilayah Anatolia Timur yang dihuni bangsa Armenia, lalu wilayah Anatolia Barat yang terletak di Eropa, serta beberapa kota penting untuk berada di bawah kendali sekutu secara de facto. Pembagian wilayah tersebut praktis menjadikan Khilafah sebagai negeri yang jauh lebih kecil.

Akibat dari adanya perundingan tersebut, memicu munculnya gerakan penolakan dari beberapa kalangan salah satunya adalah mereka yang mengatasnamakan dirinya sebagai Gerakan Nasional Turki. Mereka bisa menerima syarat seperti hilangnya provinsi-provinsi Arab, namun mereka tidak bisa menerima dipecahnya wilayah yang "dihuni oleh mayoritas muslim Utsmaniyah, yang bersatu dalam agama, ras dan tujuan yang sama".

Mereka menghendaki batas-batas yang kelak akan menjadi territorial negara Turki modern. Bagi mereka batas itu harus diperjuangkan meskipun dengan konfrontasi. Gerakan seperti ini kemudian ditanggapi oleh Khalifah dengan menganggap mereka sebagai ancaman yang akan memecah belah Khilafah.

Baca juga : Kedepankan Kemanusiaan Hilangkan Isu Khilafah

Tokoh utama mereka yaitu Mustama Kemal akhirnya dijatuhi hukuman mati namun tidak berhasil terlaksana karena banyak penentangan yang menolak hukuman tersebut. Hal tersebut karena saat itu Mustapa Kemal dianggap pahlawan karena berhasil memenangi pertempuran penting di Gallipoli. Sejarah kemudian membuktikan bahwa keputusan Utsmaniyah keliru. Kedaulatan wilayah Turki tidak bisa dipertahankan dengan perundingan damai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline