Lihat ke Halaman Asli

Rebutan Kulit, Lupa Isi

Diperbarui: 25 Desember 2016   03:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Istilah "Alam" (: semesta) digunakan manusia (:Indonesia) untuk menunjuk kepada semua yang diciptakan. Kata "alam" terserap menjadi bahasa Indonesia dari kosa kata bahasa Arab "علم" yang artinya dasarnya kenal atau tahu.

Dalam bahasa aslinya, "علم" dapat berubah bentuk mengikut makna yang dikehendaki dengan tetap mengacu kepada makna dasar. Contoh: kata عالم ('alim) yang berarti orang berilmu; bentuk jamaknya علماء ('ulama) yang sudah sangat populer di Indonesia, meskipun ada pergeseran makna. Dalam bahasa aslinya ulama dimaknai plural, sedangkan di Indonesia dimaknai singgular.

Alamat (علامة) yang sudah menjadi bahasa Indonesia juga berasal dari kata dasar علم dengan sedikit pergeseran makna. Dalam bahasa aslinya berarti "tanda", sedangkan dalam bahasa Indonesia "tempat tinggal". Tetapi kedua makna itu masih berakar kepada makna yang sama: kenal atau tahu, karena baik "tanda" atau "alamat" berfungsi untuk dikenal atau diketahui.

Begitu juga dengan kata "alam (: semesta)" yang sudah menjadi bahasa Indonesia, juga memiliki arti dasar yang sama dengan علم. Karena "alam" semesta ini diciptakan untuk menjadi tanda bagi makhluknya, khususnya manusia, agar Sang Pencipta dikenal. Seperti disebutkan dalam sebuah hadist qudsi (makna langsung dari Allah, redaksi bahasa dari Nabi): ”Aku adalah perbandaharaan tersembunyi. Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk.”

Di awal penciptaan manusia, Sang Pencipta lebih dahulu mempersaksikan keberadaan diriNya dihadapan makhluk baru yang akan diciptakan. Seperti disebutkan dengan jelas dalam alQuran 7:172

Artinya: "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".

Melalui "persaksian" langsung diawal proses kejadian itulah Sang Pencipta menanamkan kesadaran akan keberadaan diriNya yang ingin dikenal di dalam setiap diri manusia. Dengan demikian keinginan untuk mengenal Sang Pencipta merupakan fitrah. Kondisi fitrah itu diperkuat dengan kenyataan bahwa ruh manusia adalah dari ruh sang Pencipta yang ditiupkan: emanasi (pancaran). Seperti disebutkan dalam alQuran 32:9.

Artinya: "Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur."

Dengan demikian, percaya kepada sang Pencipta adalah azali atau fitrah kejadian. Sang Pencipta menciptakan karena ingin dikenal, sedangkan makhluk (:manusia) dibekali kekuatan potensial di dalam dirinya untuk mengenali Penciptanya.

Dorongan dalam diri manusia untuk mengenal sang Pencipta itu dikenal dengan agama. Dalam islam secara tegas disebutkan bahwa: اول الدين معرفة الله, "awal dari agama itu adalah mengenal Allah".

Setelah mengenalNya, terlahirlah ritual pengabdian kepadaNya, dan beberapa kewajiban untuk menyeleraskan diri dengan Sang Pencipta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline