Lihat ke Halaman Asli

FX Aris Wahyu Prasetyo Saris

Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Tatkala Fajar (17): Genset, Siap Berbagi Terang Inspirasi Tanpa Pilih Kasih

Diperbarui: 1 Juni 2021   04:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. thegorbalsla.com

Tiba-tiba semua lampu mati. Seluruh ruang gelap gulita. Orang-orang panik. Di tengah heningnya lapangan, aku merasa para penjaga memaksaku untuk bangun. Dengan tubuh yang telah kusam dan kotor ini, aku terbangun. Satu per satu lampu mulai menyala kembali. Orang-orang menjalankan aktivitasnya dengan normal kembali. Namun saat sudah cukup, akupun kembali terlelap dalam keheningan. Bagi manusia aku memang membahayakan karena tak sedikit orang yang tercelakai karena aku. Tapi betapa besarnya pentingnya diriku untuk mereka, jauh lebih besar daripada betapa membahayakannya diriku. Kulihat engsel-engsel yang menempel padaku mulai melonggar. Tubuhku yang putih bersih, tercemari oleh tangan-tangan kotor manusia.

Seringkali aku lelah, dengan tubuhku yang ternodai, rasanya tak ingin kubangun dari pulasnya tidurku. Ku tak ingin bangun, karena ku tak ingin bangun dan melihat betapa ironisnya diriku. Ditakdirkan untuk terjerat oleh besi, terkurung dalam ruangan gelap berdebu dan lembab. Ingin sekali rasanya untuk bisa melihat betapa indahnya dunia luar. Bumi memang tak sebatas ruangan yang dingin, tapi aku takkan pernah bisa menyingkir.  Aku akan berusaha, tapi saat para penjaga memaksa membangunkanku, satu hal yang tak mereka sadari, apakah mereka tidak bisa melihat? Baut-baut yang mulai berkarat, seharusnya menandakan bahwa aku telah menua. Aku sedih karena aku hanya dianggap sebagai balok logam yang tidak lebih berarti dari lampu. Aku sedih karena aku diasingkan.

Di dalam jalan hidup, ada sedih, ada bahagia. Sama seperti halnya diriku, aku bersedih, tapi tak dapat lama-lama karena aku ingin merasakan rasanya bahagia. Aku bahagia, bukan karena para manusia, aku bahagia karena diriku sendiri. Aku bahagia karena aku bermanfaat. Aku bahagia karena tak seperti manusia, aku sejak lahir telah diciptakan dengan makna. Makna untuk membantu manusia, makna untuk berguna bagi sesama. Walaupun terkurung di dalam ruangan sempit yang gelap, tapi aku akan ambil sisi positifnya saja. Setidaknya manusia memberikan prioritas kepadaku dengan memberikanku ruangan khusus agar aku tak terganggu oleh hal hal yang mengganggu. Dan di saat aku bahagia, aku melihat bahwa manusia sebenarnya masih peduli denganku, sehingga aku dilindungi dalam ruangan ini.

Ya, aku tahu biaya pengobatanku tidaklah murah. Untuk meluangkan waktu mereka demi aku mungkin hal yang sulit bagi mereka. Untuk merawatku bukan hal yang mudah, karena aku memang sudah diciptakan untuk menyatu dengan tanah ini. Tapi, apakah sulit bagi mereka untuk memberikan sedikit kasih sayang padaku? Hanya membersihkanku saja aku sudah sangat senang. Mengencangkan engselku bukan hal yang sulit. Aku ingin sedikit perhatian dari manusia, dan aku harap, manusia lebih menghargaiku, karena walaupun aku adalah benda mati, aku berguna bagi manusia. Agar aku dapat lebih mengerti bahwa hidupku setidaknya dihargai dan dipedulikan.

Ilustrasi. aceh.tribunnews.com

Dari semua perasaan, aku juga merasa bangga. Bangga karena ku telah menghabiskan waktuku untuk manusia, makhluk ciptaan yang terbaik. Bayangkan bila tak ada aku saat kesulitan itu datang. Hanya kegelapanlah yang akan menyelimuti mereka. Aku bangga, karena dari semua makhluk mati, aku tetap kokoh berdiri walaupun tubuhku sudah tidak sempurna lagi. aku bangga karena aku telah diciptakan sedemikian rupa hingga saat ini saat aku menulis ini. Aku bangga telah menjadi bagian hidup dari manusia, walaupun hanya sedikit. Dan aku bangga akan diriku.

Kuanggap tulisan ini sebagai curahan hatiku. Hidup sebagai sebuah balok genset memang tidak mudah. Tapi kuyakin, dalam semua kehidupan, mereka pasti pernah atau akan merasakan apa yang kurasakan. Mulai kesedihan sampai kebanggaan. Dari sedih, kubelajar untuk tetap tegar. Dari gembira, aku belajar untuk bersyukur. Dan dari itu semua, munculah harapan. Aku ingin manusia untuk lebih mensyukuri dan menghargai segala sesuatu. Belajarlah dari sekitarmu, mungkin diriku, sebalok genset. Dari jalan hidupku, aku bangga dan aku belajar untuk lebih banyak memberikan inspirasi untuk banyak orang.

Why#soE

*Tatkala Fajar: adalah sebuah kisah reflektif yang belajar kebijaksanaan dari benda-benda yang ada di sekitar manusia. Semesta benar-benar begitu kaya akan kebijaksanaan hidup dan menjadi kesempatan bagi manusia untuk mendewasakan diri.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline