Lihat ke Halaman Asli

FX Aris Wahyu Prasetyo Saris

Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Seri untuk Negeri (10): Inspirasi Hesse, Covey, dan Bunda Teresa

Diperbarui: 12 April 2021   20:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. theconversation.com

"Saya senang datang ke Indonesia karena alamnya begitu indah dan masyarakatnya ramah-ramah."

Itulah ungkapan para pendatang asing dari berbagai negara di era 70-an hingga 90-an. Indonesia bak surga dunia yang selalu menjadi tempat idaman  untuk dikunjungi. Akan tetapi, semua itu berbalik saat era reformasi hingga sekarang. Surga itu perlahan-lahan berlalu.

Sering kita mendengar ungkapan "Wisdom from the EAST, Smart from the WEST". Hal ini muncul karena pada masa lalu, orang selalu mempertentangkan antara nilai-nilai budaya barat dan timur. Sejarah telah menyaksikan potret pertentangan antara keduanya. Sepanjang sejarah, pertemuan antara Timur dan Barat lebih berbentuk persaingan, konflik dan perang daripada saling mengerti, bersahabat, dan kerja sama.

Dalam kebudayaan barat, akal budi (kecerdasan) dipandang sebagai kunci yang mampu membuka semua ruang tertutup. Budaya Yunani telah menjadi embrio pemilihan orang barat atas akal budi, yang memungkinkan manusia mengembangkan ilmu dan membebaskan manusia dari mitos-mitos. Dari kesemuanya itu, melahirkan keteraturan yang rasional dengan konsep-konsep yang jelas dan tegas sehingga lahirlah apa yang sering disebut hukum.

Pada sisi lain, Timur lebih menekankan intuisi daripada akal budi. Akibatnya, hatilah yang mempersatukan akal budi dan intuisi, intelegensia dan perasaan. Tampak jelas bagi orang timur, tujuan utama belajar adalah menjadi bijaksana. Dengan kebijaksanaan orang akan menghayati hidup lebih baik dan sempurna karena hidup merupakan seni yang sulit dan membutuhkan refleksi sepanjang hidup.

Oleh karena itu, dahulu masyarakat Indonesia sangat nampak ketimurannya itu lewat dinamika hidup bersama yang penuh kekeluargaan dan persaudaraan tanpa harus memikirkan untung-ruginya. Kebersamaan menjadi keutamaan sehingga sering kita dengar ungkapan "mangan ora mangan sing penting kumpul" (makan atau tidak makan, yang penting berkumpul). Namun semua itu perlahan-lahan luntur dan menjelma menjadi sesuatu yang menakutkan, egois, dan anarkis.

Kebijaksanaan Hesse

Perjalanan ke Timur (Asli: The Journey to The East) merupakan karya terbaik Hermann Hesse. Dia lahir di Jerman lalu pindah ke Swiss karena selama Perang Dunia I dia bergabung dengan organisasi perdamaian Romain Rolland untuk menentang perang dengan menulis beberapa skenario film antiperang dan novel. 

Dia juga bekerja sebagai editor pada dua surat kabar untuk para tahanan perang Jerman. Dia dianggap sebagai pengkhianat sehingga dia pindah ke Swiss. Hesse juga pernah menerima penghargaan hadiah Nobel Sastra untuk novel Magister Ludi pada tahun 1946.

Dalam novel ini digambarkan sang narator (penulis) mengembara melintasi ruang dan waktu demi mencari kebenaran tertinggi. Perjalanan ke timur adalah perlambang dari sebuah ranah kesadaran akan suatu kebijaksanaan dalam sketsa kebenaran sejati. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline