Lihat ke Halaman Asli

FX Aris Wahyu Prasetyo Saris

Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Setelah Senja (65): Petualangan Petang Hari

Diperbarui: 9 April 2021   04:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. hgnadel.cabanova.com

Segala sesuatu bisa terjadi dengan tak terduga. Situasi yang tenang pun bisa tiba-tiba menjadi gaduh tanpa alasan yang jelas. Harapan pada kesunyian hati pun bisa beralih pada kerisauan jiwa yang sulit terusir. Semua itu menjadi bagian dari sebuah petualangan semesta, manusia siap bergulat dalam kolaborasi rasa dan asa.

Langit sudah mulai menghitam, namun aku masih duduk terpaku di halaman rumahku. Kuamati bintang-bintang yang berpendar di atasku, lalu banyak pikiran yang melintas di benakku. "Sungguh sempurna bila hidup yang kumiliki ini secemerlang bintang," gumamku. 

Tiba-tiba aku merasa ada sepasang mata yang mengawasiku. Cepat-cepat aku menoleh dan kulihat sesosok pria bersembunyi di balik pagar. Dengan panik, aku beranjak dan lari masuk ke rumah, sialnya aku menyenggol jatuh sepeda ibuku. 

Akan tetapi, hal itu tak kuhiraukan, aku hanya ingin segera masuk ke rumah. Berselang beberapa waktu kemudian, aku tergerak untuk menuliskan pengalamanan itu di buku harianku.

Saat mulai kutuliskan pengalaman itu, baru kuingat cerita menyeramkan dari ibuku. Di dekat rumahku ini ada menara angker bekas zaman revolusi industri. Menara itu letaknya dekat desa mati di pinggir sungai yang penuh ilalang, menambah keangkerannya. 

Hatiku semakin mengecil ketika kupikirkan pria misterius yang muncul di halaman tadi. Mungkin saja ia hantu yang mendiami menara angker di pinggir sungai itu.

Aku pun menjadi penasaran, kusingkap korden jendela kamarku dan kuamati lagi pria itu. Kulihat dia masih bersembunyi di tempat yang sama, di atas daun-daun kering yang berserakan. Ketika kuamati dengan saksama baru kusadari tangannya memegang sesuatu yang terbalut kain semerah darah. 

Muncul di benakku tentang koran yang kubaca pagi ini tentang pembunuhan di pinggir jalan raya. Pembunuhnya masih buron seingatku dan tanpa titik maupun koma, tiba-tiba pria itu menghilang. 

Ia berlari menuju kejauhan, segera kutinggalkan buku harianku bahkan sebelum tintanya mengering. Kuambil telepon genggamku dan bergegas keluar mengikuti pria itu.

Ternyata ia berlari menuju rumah tua di ujung jalan dan lagaknya sangat mencurigakan. Kudekati rumah itu dan kutemukan banyak botol bekas berserakan di halamannya. Aku menemukan pria itu bersandar di tembok yang sudah pudar di dalam. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline