Lihat ke Halaman Asli

FX Aris Wahyu Prasetyo Saris

Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Setelah Senja (52): Memori Terlarang

Diperbarui: 17 Maret 2021   04:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. wdrfree.com

Sebuah peradaban dibangun di atas timbunan peradaban yang lain dengan cucuran darah dan air mata yang lenyap ditelan nestapa bumi. Semuanya itu terpendam dalam memori yang tidak untuk diingat dan dikenang, memori untuk dilupakan selamanya. Inilah memori yang ironis.

Gemerlap bintang menghiasi langit malam yang begitu dingin. Selimut hangat dan lampu baca yang menerangi ruangan gelap menemaniku dalam dingin yang begitu menerpa. Buku yang sejak tadi kubaca telah mendekati halaman-halaman akhir. Mata yang kian berat membuka tetap kutahan karena tanggung untuk tidak langsung menyelesaikan buku ini. Buku yang menceritakan kisah tentang seseorang yang terjebak dalam sejarah terlarang telah selesai kubaca.

Ia merupakan seorang anak yang hidup di desa dan berasal dari keluarga yang kurang mampu. Saat orang tuanya memberikannya sebuah sepeda sebagai hadiah ulang tahun, betapa riang hatinya. Hadiah ini begitu mengubahnya, sampai-sampai orang lain bahkan orang tuanya sendiri berkata bahwa ia mengalami revolusi batin. 

Hati yang selalu sedih berubah menjadi hati yang sangat periang. Setiap hari saat senja telah tiba, ia selalu menggunakan sepedanya untuk pergi merantau ke tempat yang jauh. Sungai, padang rumput ilalang, bukit dengan menara tinggi yang berdiri di atasnya, semuanya ia jelajahi menggunakan sepedanya.

Ia selalu ingin mengunjungi menara tersebut, tetapi impiannya selalu terhalang karena keterbatasan alat transportasi yang dimiliki keluarganya dan juga jarak yang sangat jauh. 

Orang-orang telah berkata bahwa itu adalah tempat terlarang yang tak pernah kapan pun boleh dikunjungi. Tetapi karena rasa penasarannya yang begitu tinggi, ia memutuskan untuk mengunjungi menara tersebut. Jembatan, jalan raya, bahkan hutan ia lewati untuk dapat sampai ke menara tersebut. 

Suara setang sepeda yang ditegakkan dapat didengar, dan suara langkah kaki yang menuntun sepeda tersebut perlahan menyusulnya. Daun-daun dari pepohonan terlihat berguguran walaupun ini bukanlah musim semi. Udara yang mendadak dingin menyengat kulit bagai jarum yang menusuk. Suasana yang mendadak berubah semakin terasa ketika langkah kaki kian mendekat pada gedung tua tersebut. Seketika, langkah kaki yang begitu pelan pun terhenti. Darah, tinta, koran, kalimat, titik, koma, semuanya terlihat dengan sangat cepat.

Sejarah nan kelam mewarnai suasana hati dan pikirannya. Waktu bagai mundur jauh ke masa lampau. Desa tanah kelahirannya yang berdiri di lembah bukit berubah menjadi sebuah bangunan dengan tembok-tembok raksasa yang mengelilinginya. Menara tua nan usang telah berubah menjadi salah satu dari banyak menara pantau yang berdiri megah. 

Di kejauhan, suara rantai yang diseret dapat terdengar dengan begitu jelas. Ia teringat akan sesuatu, halaman-halaman akhir sebuah buku terlarang tentang sejarah yang dihapus dari tempat tersebut. 

Suara jeritan terdengar jelas dalam penyiksaan yang tak pernah henti. Tubuh-tubuh yang tak kuat dibakar habis dalam lingkaran api yang tak pernah padam. Semuanya perlahan membuat sebuah rangkaian yang terstruktur, bagai titik-titik air yang perlahan mengisi sebuah botol sampai penuh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline