Lihat ke Halaman Asli

Marlianto

Apa...

Sang Warisan Leluhur (Hal 12)

Diperbarui: 7 Desember 2019   13:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Si pemuda buru-buru menggamit lengan si nona, " Jangan disini..." sambil menggelengkan kepala, mencegahnya bila berniat mendatangi meja Dewi Kembang. Tapi si nona langsung menolak tangan pemuda itu, raut wajahnya tegang memendam amarah, kemudian melangkah lebar menuju Dewi Kembang. Si pemuda hanya bisa menghembuskan nafas panjang, lalu mengikuti langkah si nona.

Dewi Kembang dan Runa Kamalini saat itu masih asik menikmati hidangan, tiba-tiba merasakan kehadiran seseorang disamping tidak jauh dari mejanya. Dewi Kembang menghentikan makannya, lalu menoleh kearah seorang gadis berusia belum duapuluhan sedang berdiri kaku dan tegang. Wajahnya cantik, berkulit hitam manis, menahan geram dengan sorot mata tajam mengiris Dewi Kembang.

Dewi Kembang merasa heran, datang-datang si nona memelototi dirinya. Dirinya langsung dapat menerka akan timbul keributan. Otaknya pun berputar, mengingat-ingat dimanakah pernah bertemu dengan si gadis dan kesalahan apa telah dia perbuat.

"Siapakah nona, adakah yang bisa aku bantu?" tanya Dewi Kembang.

Si nona nampak semakin meradang, "Dewi Kembang, masih ingatkah kau, dengan laki-laki bernama Waras Hayampongah..?"

"Tidak..." kalem saja Dewi Kembang menjawab

Sikap Dewi Kembang sungguh menyepelekan si nona, dengan berkacak pinggang dan suaranya bergetar, hampir berteriak si nona berkata, "Bukankah dirimu terkenal dengan sebutan si peternak kumbang madu, tentu kau masih ingat nama-nama lelaki yang pernah kau jadikan kumbang itu..?"

Dewi Kembang mengerutkan kening, "Ahh...julukan itu sudah aku lupakan. Dunia sudah menerima tobatku. Kira-kira lebih tiga tahun lalu, memang banyak lelaki rela mengelilingiku, mengikutiku, melayaniku, merangkak dihadapanku, berebut rela ingin menjadi budakku. Hingga akhirnya aku merasa muak dan jijik dengan kelakuan mereka, dan mereka telah ku usir. Jadi perlu apa, aku harus tahu nama-nama mereka. Termasuk nama yang kau tanyakan itu, bila memang benar dia salah satu dari mereka?"

Gemetar tubuh si nona, geramnya gak ketulungan, telunjuknya menuding tepat ke arah hidung Dewi Kembang, nada suaranya meninggi, "Dasar mulut bau...! Kau cocok hidung mereka dengan racunmu, sehingga mereka rela mengikutimu. Lalu kau usir mereka setelah kau puas dengan mereka, kau peras harta miliknya, hingga mereka tak memiliki apa-apa, kecuali pakaian menempel di badan. Kemudian kau mencari lagi korban-korban baru, kau pilih-pilih mangsamu, status mereka di masyarakat, derajat mereka, kedudukan mereka. Sekarang mulut baumu dengan entengnya ngomong, kau jijik dan muak dengan mereka, kau tak perlu tahu nama mereka...!" 

Dewi Kembang merasa tersudut dan tidak mampu menahan sabarnya, "Enak aja kalau bicara, mulutmu itu yang bau...aku tidak butuh racun agar dikagumi dan digemari para lelaki. Mereka yang salah, mengapa terpikat dan terpesona oleh kecantikanku, perilaku dan sikapku. Bahkan dengan hati rela mereka mau ngintil ngesot dibelakangku. Bila Waras Hayampongah salah satu dari mereka, kau boleh tanyakan ke dia..." 

Amarah si nona kian membuncah mendengar ucapan Dewi Kembang, matanya mendelik, rahangnya menegang, tangannya terkepal, serasa tercekik ketika menjawab, "Dia sudah meninggal..."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline