Ada pepatah Latin kuno yang berbunyi "Historia magistra vitae est"---sejarah adalah guru kehidupan. Sayangnya, bangsa ini tampaknya murid yang bandel: sudah berkali-kali diingatkan, tetap saja mengulang kesalahan yang sama. Kini, setelah geger penolakan tim sepak bola Israel dalam Piala Dunia U-20 tahun lalu, kita kembali melihat babak baru drama serupa: pembatalan visa atlet Israel oleh pihak imigrasi Indonesia untuk ajang olahraga internasional.
Langkah ini diambil setelah tekanan keras datang dari berbagai pihak---mulai dari organisasi keagamaan besar seperti MUI, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah, hingga beberapa anggota DPR. Alasannya klasik: solidaritas terhadap Palestina. MUI menegaskan bahwa membiarkan atlet Israel masuk berarti "membuka pintu normalisasi dengan penjajah." Sementara Muhammadiyah menyebut kehadiran Israel sebagai "bentuk pelanggaran terhadap amanat konstitusi." Bahkan sejumlah ormas dan mahasiswa turun ke jalan, membawa poster bertuliskan "Tolak Israel, Bebaskan Palestina!"
Sikap ini seolah menunjukkan kesatuan moral bangsa, tapi ironisnya, justru memperlihatkan bagaimana kita gagal memahami makna sportivitas. Dunia olahraga seharusnya menjadi ruang netral dari urusan politik, tempat nilai universal seperti persahabatan, perdamaian, dan persaingan sehat dijunjung tinggi. Namun, di negeri ini, bendera politik terlalu sering dikibarkan di atas lapangan olahraga.
Padahal, jika kita menengok ke belakang, ketika FIFA membatalkan penyelenggaraan Piala Dunia U-20 di Indonesia karena penolakan terhadap tim Israel, yang justru paling tenang adalah pihak Palestina. Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Zuhair Al-Shun, waktu itu dengan tegas menyatakan bahwa keikutsertaan tim Israel di ajang olahraga "tidak ada kaitannya dengan dukungan terhadap kebijakan politik negaranya." Bahkan, beliau menegaskan bahwa olahraga adalah "ruang kemanusiaan yang tidak semestinya dipolitisasi."
Namun, kita tetap memilih jalur yang sama: menutup pintu, menolak visa, dan akhirnya---berpotensi kembali kehilangan kesempatan emas di mata dunia. Ajang olahraga yang seharusnya menjadi kebanggaan, kini terancam batal seperti dj vu yang memalukan. Dunia mungkin akan kembali mengernyit: mengapa Indonesia, negara besar yang mengaku cinta perdamaian, justru tidak bisa bersikap dewasa terhadap perbedaan politik antarnegara?
Sebagian pihak berdalih, ini adalah amanat konstitusi, terutama Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Namun, tafsir ini seringkali dipakai secara selektif. Bukankah kita juga menjalin hubungan ekonomi, dagang, dan pariwisata dengan negara-negara lain yang memiliki catatan hak asasi manusia yang buruk? Bukankah kebijakan luar negeri Indonesia adalah politik bebas aktif---artinya tidak memihak, tapi aktif mencari jalan tengah? Bagaimana kita bisa menjadi penengah jika dari awal sudah berpihak dan menutup pintu dialog?
Di sinilah kita merindukan kebijaksanaan seorang Gus Dur. Ketika menjadi Presiden, Abdurrahman Wahid secara terbuka menyatakan pentingnya membuka komunikasi dengan Israel, bukan untuk mengkhianati Palestina, tetapi justru untuk memperjuangkan perdamaian melalui dialog. "Kita tidak bisa menolong Palestina jika kita membenci Israel," kata Gus Dur waktu itu. Baginya, hubungan diplomatik bukan soal cinta atau benci, tapi soal tanggung jawab kemanusiaan.
Sayangnya, warisan pemikiran seperti ini seolah terkubur di tengah gelombang populisme agama dan nasionalisme sempit. Kita lebih senang berteriak "solidaritas" daripada benar-benar memahami apa artinya memperjuangkan perdamaian. Kita bangga menolak visa, tapi lupa bahwa dunia menilai kedewasaan bangsa dari caranya menghormati sportivitas dan perbedaan.
Apakah alasan "membela Palestina" cukup untuk mengorbankan citra internasional dan komitmen kita pada semangat olahraga? Bukankah justru dengan bersikap sportif dan terbuka kita bisa menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara besar yang menjunjung nilai kemanusiaan universal?
Seperti kata filsuf Bertrand Russell, "Fanatisme adalah keyakinan tanpa pemikiran." Mungkin inilah yang sedang kita alami: berkeyakinan kuat, tapi enggan berpikir kritis. Kita menolak demi solidaritas, tapi melupakan prinsip bahwa olahraga adalah bahasa universal perdamaian.