Lihat ke Halaman Asli

Ketika Adat Menjadi Hujjah

Diperbarui: 24 Mei 2019   03:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Perkembangan zaman mengantarkan manusia kepada perubahan, pembaharuan, improvisasi, bahkan perombakan kepada sesuatu yang mungkin tidak dianggap relevan lagi untuk terus dilakukan. Namun pada tatanan kehidupan masyarakat, kadang kala ada rutinitas atau kebiasaan bersama yang merupakan hasil cipta dari nenek moyang, lalu diwariskan kepada kita hingga saat ini. Hal inilah yang kemudian dikenal sebagai adat dalam masyarakat. 

Islam tentunya mempunyai points of view  tersendiri dalam menanggapi adat yang berlaku dalam masyarakat. terlebih jika ternyata adat tersebut terkait dengan ritual dan tata cara, yang dalam hal ini akan sedikit banyak bersinggungan dengan konten terbesar dalam segmen Islam yaitu Fiqih.

Menarik untuk dikaji, bahwa ternyata dalam literasi lama para ulama telah membahas detail tentang posisi adat masyarakat dalam pandangan syariat.

Benarkah adat masyarakat bisa menjadi landasan dalam berhukum?

Islam yang telah berdiri tegak dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW, tidak serta merta membiarkan penganutnya hidup tanpa arah dan tanpa aturan. Hal ini agar keberlangsungan hidup antar manusia saling terjaga dan tercapai segala maslahatnya. Untuk mencapai maslahat tersebut, Islam memberikan landasan-landasan legalitas perbuatan kepada umatnya yang dinamakan dalil syar'i. 

Hal ini kemudian dibahas dalam sebuah disiplin ilmu bernama ushul fiqih, yang mana dalil-dalil dalam agama terbagi kepada: Al-Qur'an, As-Sunnah, Al-'Ijma, dan Al-Qiyas sebagai jenis dalil yang disepakati seluruh ulama. Kemudian ada lagi dalil yang disepakati oleh sebagian ulama dan masih dipertentangkan oleh sebagian yang lain, yaitu: 'Urf, Istihsan, maslahat mursalah, istishab, qoul Shahabi, syar'u man qablana, dan lain-lain.

Seiring perkembangan zaman, muncul pula perkara-perkara anyar dalam lingkup komunitas tertentu yang tidak ditemukan dalil-dalinya baik dalam nushus (Qur'an dan Sunnah) ataupun Ijma' dan Qiyas. Hal ini membuat sebagian orang melirik kepada dalil al-mukhtalaf fiiha (dalil yang menjadi polemik antar ulama), dimana lebih difokuskan kepada 'Urf  atau kebiasaan yang berlaku kepada sebagian besar masyarakat. 

Pengambilan hukum melalui 'Urf  atau yang kita kenal dengan adat sebagai landasan ini kemudian menjadi Ironi tatkala terjadi miss aplikasi di dalamnya. Tak sedikit dari pemikir-pemikir Islam kontemporer yang menggunakannya untuk melegitimasi pendapat pribadi, sementara hukumnya baik secara eksplisit ataupun prediktif sudah ditetapkan dalam sumber dalil nushus. 

Seperti pada masalah hijab, dimana menurut mereka ayat hijab hanya berlaku di era kenabian saja dan tidak bisa dijadikan pedoman mutlak karena pada intinya, ayat menyuruh memakai kerudung hanya berlaku pada istri nabi dan wanita muslimah di madinah demi menjaga diri dari ancaman kriminalitas 

dan cuaca yang ekstrim. Maka Syahrur menyerukan agar wanita-wanita masa kini boleh menggunakan pakaian sesuai adat yang berlaku saja. Dengan berdalil menggunakan kaidah:

(hukum berubah seiring perubahan zaman dan tempat)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline