Lihat ke Halaman Asli

Maman Abdullah

Pengasuh Tahfidz | Penulis Gagasan

Amerika Untung, Eropa Buntung: Rapuhnya Persatuan Blok Barat

Diperbarui: 21 September 2025   13:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gatra.com

Perang Ukraina kembali membuka tabir rapuhnya persatuan dunia Barat. Di panggung politik internasional, Amerika Serikat tampil gagah memimpin NATO dan Uni Eropa untuk menekan Rusia. Retorika solidaritas, demokrasi, dan kebebasan menjadi bumbu diplomasi yang disiarkan ke seluruh dunia. Namun di balik slogan itu, fakta menunjukkan persatuan Barat sejatinya tidak lebih dari kesatuan pragmatis: bersatu karena musuh bersama, tetapi retak karena kepentingan ekonomi dan politik yang saling bertabrakan.

Amerika Panen, Eropa Menjerit

Sejak perang Ukraina pecah pada 2022, Amerika justru menjadi pihak yang paling banyak diuntungkan. Washington mendapat keuntungan besar dari ekspor gas alam cair (LNG) ke Eropa, setelah Eropa memboikot energi Rusia. Harga energi di Benua Biru melambung, industri Jerman terpukul, dan rakyat kecil harus menghadapi kenaikan biaya hidup yang signifikan. Sementara itu, perusahaan energi Amerika meraup laba miliaran dolar.

Di bidang militer, Amerika juga berjaya. Perusahaan-perusahaan senjata seperti Lockheed Martin dan Raytheon mencatat lonjakan pesanan. Senjata buatan Amerika mengalir deras ke Ukraina, dan sebagian besar biayanya ditanggung oleh negara-negara Eropa. Singkatnya, Amerika mendapat laba ganda: keuntungan ekonomi dan penguatan posisi geopolitik, sedangkan Eropa hanya menanggung kerugian dan krisis.

Persatuan yang Penuh Retakan

Sekilas, NATO tampak solid. Namun di dalamnya, suara-suara sumbang mulai muncul. Prancis sejak lama mempertanyakan dominasi Amerika, sementara Jerman merasa menjadi korban terbesar akibat embargo energi Rusia. Italia pun cenderung setengah hati mengikuti garis keras Washington. Retakan ini menunjukkan bahwa persatuan Barat hanyalah topeng tipis yang mudah robek ketika kepentingan ekonomi saling berbenturan.

Fenomena ini bukan hal baru. Pada masa Perang Dingin pun, kesatuan Blok Barat dibangun hanya di atas ancaman komunisme internasional. Begitu ancaman melemah, persaingan antarnegara Barat kembali mencuat. Hari ini pola yang sama terulang: selama Rusia dan China dianggap musuh, Barat bisa terlihat kompak. Namun di baliknya, kepentingan nasional masing-masing tetap lebih dominan.

Dunia Islam, Papan Catur Barat

Seperti pada era sebelumnya, dunia Islam kembali menjadi ajang perebutan pengaruh. Timur Tengah dijadikan arena persaingan: Amerika menggandeng Arab Saudi dan negara Teluk, sementara Iran dijadikan musuh bersama. Palestina menjadi korban standar ganda: Barat menjerit soal hak asasi di Ukraina, tetapi bungkam ketika Israel membombardir Gaza. Bahkan, dukungan buta Amerika terhadap Israel semakin memperlebar jarak dengan opini publik global yang makin peduli pada nasib Palestina.

Negara-negara Eropa pun tidak selalu satu suara. Spanyol, Irlandia, dan Belgia mulai berani menentang Israel, berbeda dengan sikap keras Amerika. Hal ini sekali lagi menunjukkan: persatuan Barat rapuh, bahkan di isu moral kemanusiaan.

China: Retakan Baru Barat

Selain Rusia, kebangkitan China menjadi tantangan besar bagi Barat. Amerika mendorong sekutunya bersikap keras terhadap Beijing, terutama dalam isu teknologi, perdagangan, dan Laut Cina Selatan. Namun, Eropa punya kepentingan lain: ekspor mobil Jerman ke China, perdagangan Prancis, dan investasi Italia. Mereka sulit sepenuhnya mengikuti garis keras Amerika. Lagi-lagi, pragmatisme ekonomi menjadi sumber retakan di dalam persatuan Barat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline