Di sebuah lautan fiksi, bendera hitam itu berkibar robek-robek. Tengkorak tersenyum lebar, memakai topi jerami. Tampak lucu, tapi juga menantang. Itulah bendera bajak laut Topi Jerami --- yang di dunia nyata justru jadi simbol paling dicintai anak-anak muda, dari sudut kota Jakarta sampai gang sempit di Surabaya.
Saya membayangkan bagaimana Monkey D. Luffy, pemuda polos dan keras kepala itu, tertawa lebar saat pertama kali melihat bendera itu dijahit Usopp. Bendera itu bukan sekadar kain hitam. Ia adalah deklarasi. Pernyataan perang.
Bahwa kebebasan lebih berharga daripada hidup nyaman.
Pukulan di Sabaody dan teriakan "Aku ingin hidup!"
Saya selalu ingat adegan di Kepulauan Sabaody. Seorang bangsawan langit, Tenryuubito, menembak teman Luffy --- seekor manusia ikan. Semua orang ketakutan. Tapi Luffy hanya menurunkan topi jeraminya, mengencangkan rahang, dan memukul sang bangsawan hingga terpental.
Adegan itu viral. Bukan cuma di komik dan anime. Tapi juga di hati kita yang diam-diam juga muak pada arogansi kekuasaan.
Atau saat Nico Robin, seorang arkeolog yang seumur hidup dikejar karena "dosa" mengetahui sejarah terlarang, akhirnya berteriak, "Aku ingin hidup!" --- sesudah Luffy dan kawan-kawannya membakar bendera Pemerintah Dunia demi menyelamatkannya.
Inilah inti dari bendera Topi Jerami: menolak tunduk, meski lawanmu seluruh dunia.
Menkau Sri Mulyani Indrawati (foto: Tangkapan Layar Fanpage SMI)
Yang marah adalah para penindas