Oleh: Mahar Prastowo
Ia mungkin hanya mengedit sebuah gambar. Sebuah meme. Sebuah ekspresi. Ia unggah. Lalu ia ditangkap.
Bagi banyak orang, ini perkara sepele. Bagi negara, ini perkara serius. Dan bagi SSS, seorang mahasiswi dari Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, ini mungkin hari-hari terkelam dalam hidupnya.
Saya langsung teringat pada masa ketika meme adalah bentuk perlawanan yang "diampuni." Era reformasi awal, karikatur Soeharto dan tokoh-tokoh orde baru marak di dinding kota dan koran-koran mingguan. Kini, meme bisa membuatmu ditahan.
SSS bukan aktivis politik. Ia mahasiswa seni. Mungkin ia tak tahu bahwa meme yang diunggahnya, yang memuat wajah Prabowo dan Jokowi, bisa berbuntut panjang. Apalagi jika dianggap menghina kepala negara.
Tapi, pertanyaannya: apa benar itu penghinaan? Atau hanya bentuk kritik satir?
Mahasiswi, Meme, dan Pasal Karet
Hukum yang digunakan untuk menangkap SSS bisa ditebak: Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU ITE atau Pasal 207 KUHP. Pasal yang sering disebut "pasal karet". Karena bisa ditarik panjang---atau dilonggarkan---sesuai kepentingan.
Pasal 207 KUHP menyebutkan: "Barang siapa dengan sengaja di muka umum menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun enam bulan..."
Tapi Mahkamah Konstitusi sudah bicara soal ini. Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 menegaskan bahwa penghinaan harus memenuhi unsur "serangan terhadap kehormatan atau nama baik secara langsung." Dan tak boleh digunakan untuk membungkam kritik.
Putusan MK lainnya No. 65/PUU-XVIII/2021 juga mempertegas: kritik terhadap pejabat publik tidak bisa serta-merta dianggap sebagai penghinaan.
Meme, barangkali, adalah satire era digital.
Pelajaran dari Berlin: Tembok Runtuh oleh Ciuman Satir
Untuk memahami absurditas kasus ini, mari kita melompat ke Berlin.
Foto ikonik "The Kiss" atau "Fraternal Kiss" di Tembok Berlin tidak pernah diperkarakan secara hukum atau menyebabkan penangkapan oleh polisi.