Membaca "Rawan Krisis" Bank DKI: Dari Gangguan Sistem Jelang Lebaran hingga Isu IPO---Ada Apa di Baliknya?
Oleh: Mahar Prastowo
Satu hari sebelum libur panjang Idul Fitri, 29 Maret 2025, antrian panjang mengular di sejumlah ATM Bank DKI. Nasabah mengeluh, transaksi tidak dapat dilakukan. Uang di tabungan masih ada, tapi tak bisa ditarik. Seperti ada "tangan tak terlihat" yang membuat Bank DKI lumpuh sejenak, bahkan beberapa jenak hingga habis lebaran. Tapi apakah ini sekadar gangguan sistem biasa atau ada skenario besar di balik panggung?
Bank DKI selama ini dikenal sebagai bank milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Saham mayoritasnya dipegang Pemprov. Sejak dahulu menjadi andalan untuk transaksi APBD, layanan JakCard, dan gaji ASN DKI, penyaluran Bansos. Tapi dalam dua tahun terakhir, tekanan terhadap Bank DKI datang bertubi-tubi.
Gangguan sistem 29 Maret 2025: Satu kejadian, banyak tafsir
Manajemen Bank DKI menyebutnya sebagai gangguan pada sistem teknologi informasi. Tapi gangguan ini bukan kali pertama. Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa layanan digital mereka seperti JakOne Mobile juga sering mengalami error. Banyak yang mencibir: "Bank DKI kok kalah sama fintech?"
Namun mari kita dekati persoalan ini dengan kacamata struktural.
Teknologi informasi perbankan adalah jantung yang harus berdetak 24/7. Jika sering kolaps, berarti ada dua kemungkinan:
1. Infrastruktur dan SDM TI tidak memadai, atau
2. Ada sabotase atau skenario tertentu yang disengaja untuk menciptakan kesan bahwa bank ini "lemah".
"Underperformance by design"?
Di sinilah publik mulai berspekulasi. Dalam diskusi-diskusi terbatas, beredar dugaan bahwa serangkaian gangguan tersebut "dibentuk" untuk menggiring opini bahwa Bank DKI tidak layak lagi dikelola sebagai bank BUMD. Dengan kata lain, terjadi underperformance by design.
Tujuannya? Supaya wacana privatisasi melalui skema IPO (Initial Public Offering) bisa digelontorkan ke publik dengan dalih penyelamatan. Jika Bank DKI gagal meyakinkan publik dan pemerintah pusat bahwa ia bisa bersaing di era digital, maka "penyelamat" swasta akan muncul.
Dan kita tahu, IPO bukan sekadar membuka kepemilikan saham ke publik. Ia membuka pintu bagi perubahan postur saham. Saat ini mayoritas saham dipegang oleh Pemprov DKI, tapi jika IPO digelar, maka saham ini bisa tersebar. Mayoritas bisa berubah jadi minoritas. Dan pengendali bisa berpindah.