Lihat ke Halaman Asli

M AFTONILMAN

Hidup sejah tera dan hidup sehat

UU No. 1 Tahun 2019 mengenai Perkawinan Berdasarkan Praktik & Teori pada Masyarakat

Diperbarui: 18 Desember 2021   22:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Setelah beberapa puluhan tahun lamanya, UU No. 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan akhirnya mengalami penyegaran. Pasal 7 ayat (1) yg semula menyatakan bahwa batas usia minimum bagi perempuan buat menikah merupakan 16 tahun lalu diubah menggunakan menaikkannya sebagai 19 tahun setara menggunakan laki-laki. Perubahan ini mengakomodir Putusan Mahkamah Konstitusi No.22/PUU-XV/2017 atas permohonan judicial review terhadap Pasal 7 ayat (1) lantaran dipercaya nir konstitutional & diskriminatif.

 Perubahan tadi secara resmi dituangkan pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 mengenai Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan yg diundangkan dalam lepas 15 Oktober 2019. Pemerintah berharap perubahan UU Perkawinan tadi bisa menekan nomor perkawinan anak pada bawah umur. Hal yg mendorong diubahnya UU Perkawinan tadi lantaran Mahkamah Konstitusi menduga bahwa Indonesia sudah berada dalam fase darurat pernikahan anak. 

Data penelitian UNICEF tahun 2016 menyatakan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-7 menurut Negara pada global yg mempunyai taraf perkawinan dini tertinggi & peringkat ke-dua se-ASEAN sesudah Kamboja. Kenyataan ini tentu saja sangat mengkhawatirkan generasi belia terutama bagi tumbuh kembang mereka dan menghilangkan hak-hak dasar yg seharusnya mereka peroleh misalnya hak pendidikan, hak kesehatan, hak sipil, hak terbebas menurut subordinat & kekerasan dan hak-hak Namun terdapat beberapa pada kalangan rakyat setempat menikahkan anaknya pada usia yg masih kurang berdasarkan 19 tahun. Dikarenakan terkadang menggunakan galat satu faktor hamil terlebih dahulu sebelum melakuakan akad nikah.

Adapun saat terjadi penyimpang pada batasan umur diatas tersebut, maka orang tua bisa mengajukan pengecualian nikah pada pengadilan kepercayaan setempat menggunakan bukti-bukti yg tentunya mendukung pada pengajua pengecualian nikah ini & pula pada syarat alasan terdesak.

Dalam hal ini pula pemerintah seharusnya bisa mencari alur pada duduk perkara ini, sebagai akibatnya nomor pengajuan pengecualian nikah ke pengadilan kepercayaan lebih sedikit & pernikahan dini nir poly terjadi.

Perlu kiranya dala revesi UU ini pemerintah terlebih dahulu buat mensosialisakan terlebih dahulu atau turu eksklusif pada rakyat pada kota juga pada pelosok desa buat membutuhkan pemunahan lebih pada. Oleh karenanya poly hal yg perlu diperhatikan pada memilih batas usia minimal perkawinan.

Melihat begitu meningkatnya angaka pengajuan pengecualian nikah, bahwa sinkron realita & fenomena yg sudah ada revesi buat UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yg sebagai UU Perkawinan No. 16 Tahun 2019 bisa dievaluasi kurang efektif & tentunya bisa membutuhkan penilaian yg mendalam sang pemerintah. Lantaran suatu Pernikahan merupakan gerbang futuristis bagi setiap insan, memiliki pasangan yg absah merupakan ikatan yg suci, buat merajut kebahagiaan hakiki pada hari akhir nanti




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline