Lihat ke Halaman Asli

Made Nopen Supriadi

Peneliti dan Penulis

Terserah: Sebuah Perenungan Filosofis (3)

Diperbarui: 20 Mei 2020   21:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar Dibuat Oleh: Made Nopen Supriadi

'Terserah!'... kita mungkin sering mendengar ungkapan ini. Ungkapan ini jika kita katakan menunjukkan sebuah ekspresi hati kita yang sedang bergejolak. Gejolak tersebut bersifat relatif, ada gejolak karena hati yang sedang marah atau gejolak karena hati yang sedang lemah atau gejolak karena hati sudah tidak merasakan lagi. 

Oleh karena itu dalam seri filsafat 3 ini saya akan mengantarkan kita bersama untuk menyelami ungkapan 'terserah!.'. Dan saya juga tidak menuntut anda mengikuti perenungan ini, jadi terserah anda.....! 

Beberapa waktu ini kita melihat sebuah ekspresi, dimana banyak para perawat dan tim medis di Indonesia menulis status 'Indonesia terserah!.' Menurut anda ketika kata itu diucapkan perasaan apa yang sedang diwakili?

Pasti ada yang menjawab itu adalah perasaan 'kecewa'. Kekecewaan seringkali tidak terungkapkan, namun bagi manusia yang bisa mengungkapkan pasti akan memiliki perbedaharaan yang khusus mewakili dirinya untuk mengungkapkan kekecewaan. Bisa saja kata 'terserah' dipakai untuk mewakili isi hatinya yang kecewa. 

Namun tidak semua orang kecewa mampu menggunakan kata 'terserah.' Oleh karena itu ketika kita mencoba memahami manusia dari perkataan yang keluar, kita sedang melakukan penafsiran terhadap hati manusia?

Karena ada prinsip 'apa yang keluar dari mulut berasal dari hati.' Jadi secara filosofis kita dapat melihat bahwa kata 'terserah' tidak hanya menjadi ekspresi manusia yang kecewa, tetapi menjadi salah satu alat ukur bagi pendengarnya untuk mengerti isi hatinya.

Kata terserah juga pernah kita ucapkan ketika kita juga 'marah.' Rasa kecewa banyak diringi oleh kemarahan. Oleh karena itu kata 'terserah' bisa memiliki penekanan khusus ketika kita sedang marah. 

Bagi yang marah, kata 'terserah' bisa saja mewakili puncak kemarahannya, sehingga ia bisa tertolong tekanan batinnya ketika sudah mengucapkan kata terserah. Namun bagi manusia yang mendengar kata 'terserah' yang diucapkan dengan tekanan tinggi, pasti akan berpikir secara subyektif. 

Apakah saya salah?. Apakah saya mengecewakan?. Apakah saya..... Hal tersebut bisa menimbulkan rasa bersalah bagi yang mendengarkan?. Waow menarik sekali bukan!

Pada level ini ungkapan 'terserah' justru menjadi sebuah hal yang absurd karena kita sekarang ada dikawasan pemikiran tidak bisa membedakan manakah sebenarnya sedang 'terluka hatinya.'

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline