Antara Perayaan dan Perenungan
Setiap bulan Rab'iul Awal, umat Islam di berbagai penjuru dunia utamanya di Indonesia merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Di kampung-kampung, kita menyaksikan semarak shalawatan, arak-arakan, pengajian, hingga pembagian makanan. Di kota-kota besar, masjid dan majelis taklim dipenuhi jamaah yang melantunkan pujian dan sholawat. Semua itu dilakukan sebagai bentuk cinta kepada Nabi yang lahir lebih dari 14 abad lalu di Makkah.
Namun, dibalik kemeriahan itu ada pertanyaan penting yang patut direnungkan. Apakah Maulid hanya sebatas ritual tahunan, ataukah ia menjadi momen koreksi dan inspirasi dalam menjalani kehidupan? Lebih khusus lagi, apakah nilai-nilai kenabian yang kita rayakan benar-benar tercermin dalam kehidupan sosial-politik bangsa Indonesia saat ini?
Politik Indonesia kini sedang berada di persimpangan jalan. Ia dipenuhi oleh riuh rendah narasi populis, janji-janji yang manis di bibir, tetapi sering pahit dalam kenyataan. Kita menyaksikan bagaimana kekuasaan seringkali diperlakukan sebagai alat untuk memperkuat oligarki, bukan sebagai amanah untuk menyejahterakan rakyat. Dalam konteks inilah, perayaan Maulid Nabi seharusnya menjadi cermin besar yang memantulkan kembali teladan Rasulullah SAW sebagai seorang pemimpin yang tidak sekadar hanya berkuasa, melainkan menghidupkan nurani dan kemanusiaan.
Kelahiran Nabi: Sebuah Cahaya dalam Kegelapan
Nabi Muhammad lahir di tengah masyarakat Arab yang sedang dilanda kegelapan moral. Periode itu dikenal sebagai zaman jahiliyah / masa ketika kezaliman merajalela, perempuan diperlakukan sebagai barang, kesukuan menjadi alat penindasan, dan yang kuat bebas menindas yang lemah.
Di tengah suasana itu, lahirlah seorang bayi yatim pada tanggal 12 Rabiul Awal, tahun Gajah, yang kelak membawa cahaya peradaban. Kelahiran beliau adalah simbol harapan, bahwa di tengah kelamnya sejarah, selalu ada peluang untuk kebangkitan.
Jika kita tarik ke realitas Indonesia, politik hari ini juga sering kali terasa gelap. Korupsi masih menjadi penyakit kronis, politik uang terus menggerogoti demokrasi, dan kepentingan rakyat kecil sering kali dikesampingkan demi kesepakatan elite. Seperti jahiliyah yang dipenuhi dengan penindasan dan perbudakan, politik Indonesia pun terjebak dalam pola yang sama. Siapa yang punya modal besar, dialah yang berkuasa; siapa yang punya koneksi, dialah yang menang.
Maka, Maulid Nabi bukan sekedar momen nostalgia. Ia adalah pengingat bahwa selalu ada harapan untuk perubahan, asalkan ada kesungguhan moral.
Kepemimpinan Nabi: Dari Amanah ke Peradaban