Lihat ke Halaman Asli

Nisa Lutfiana

Okee saya seorang perantau yang tengah mencari penghidupan di perbatasan negeri ini :)

Perempuan yang Memasak

Diperbarui: 3 Februari 2017   10:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar dari Pinterest.com : https://s-media-cache-ak0.pinimg.com

Memasak menjadi suatu hal yang menyenangkan bagi sebagian orang, bahkan terkadang menjadi hobi mengasyikan. Siapa to yang tidak suka memasak? Dengannya kita bisa memilih sendiri apa dan bagaimana makanan yang akan kita makan, rasa dan cita rasa yang kita inginkan. Kita bisa menambahkan banyak cabe jika ingin makanan pedas, atau menambahkan banyak bawang jika ingin makanan beraroma kuat, bahkan kita bisa memilih sendiri menggunakan kaldu ayam atau sapi sebagai penyedap. Kita juga bisa nenambahkan daging atau telur jika kita menyukainya, atau bawang goreng dan daun bawang sebagai pelengkap. Ah, semuanya serba selera kita. 

Namun dibalik serba menyenangkan proses memasak, kita juga perlu waspada pada rasa yang tidak sempurna. Pada suatu waktu mungkin makanan yang kita buat mungkin terlalu asin, kurang asin, atau bahkan tidak ada rasanya. Belum lagi perkiraan waktu yang kurang tepat seringkali menyebabkannya terlalu matang, gosong atau masih terasa mentah. Nyatanya inilah yang membuat sebagian orang yang lain lebih memilih membeli makanannya, atau meminta orang lain memasakkan. Tak bisa dipungkiri bahwa hal ini menyebabkan ketergantungan.

Memasak kini mengalami begitu banyak perkembangan yang begitu kompleks. Memasak sekarang bahkan menjadi ilmu tersendiri yang dipelajari secara khusus. Memasak pun dianalogikan sebagai sebuah seni, karena memasak tidak hanya tentang takaran, bahan baku dan cara membuat yang kaku, tetapi lebih kepada perasaan, kepekaan dan cita rasa dalam mengolahnya. Namun pada dasarnya, memasak merupakan satu bagian dari rangkaian aktifitas untuk mempertahankan hidup [1].

Tapi sebenarnya, ada hal yang lebih tidak mengenakkan dari memasak. Hubungannya dengan perempuan tidak bisa kita pungkiri begitu dekat. Bahkan tak jarang menjadi sebuah label yang menempel pada setiap perempuan, tak terkecuali. Setiap perempuan ya harus bisa masak, begitu katanya. Ketidakmampuan serta keengganan seorang perempuan untuk meramu bumbu dan membuat bahan pangan menjadi layak dan sedap dimakan seringkali dianggap tidak wajar atau menyalahi kodrat. Sedang bila laki-laki, dianggap biasa dan bukan merupakan masalah besar. Padahal baik perempuan atau pun laki-laki membutuhkan makanan, yang didapat melalui proses memasak tentunya, untuk keberlangsungan hidupnya.

Sudah bisa masak apa? Nanti suami mu makan apa? Nanti gimana kalo tinggal sama mertua kalo ngga bisa masak? Dan berbagai pertanyaan lain seringkali menjadi pertanyaan wajib bagi perempuan yang beranjak dewasa, bahkan semakin menjadi ketika mendekati usia siap nikah. Tentu saja, itu tidak terjadi pada laki-laki. Maka pada akhirnya label yang melekat memaksa perempuan untuk mampu memasak, karna beban itu begitu terasa ada dipundaknya. Ya, tidak bisa dipungkiri ini menguntungkan perempuan, kemampuannya untuk memasak menjadikannya seorang manusia mandiri yang otonom dalam panganan. 

Terlepas dari itu semua, memasak adalah kebutuhan. Ini soal mampu atau tidaknya memenuhi kebutuhan hidup kita sendiri; pun kesenangan mendapatkan makanan selera kita;  bukan soal laki-laki atau perempuan serta label yang melekat padanya. Aku memasak karna aku membutuhkan itu untuk hidupku, bukan karena aku perempuan atau laki-laki.

**

[1] Sahak. 2012. Masakan Favorit Keluarga. Kanaya Press, Jakarta. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline