Lihat ke Halaman Asli

Tuhan, Aku, dan Perempuan yang Terjebak di Hutan Sendu

Diperbarui: 27 Desember 2020   07:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: instagram @kulturtava

Aku melihat perempuan itu terjatuh dalam ketidakpenerimaan. Hari-harinya seperti bunga di padang, tiada keindahan yang dia rasakan. Perempuan itu menyaru kelu dalam nestapa dan kesenduan. Rapuhnya kehidupan menempel pada jiwanya.

Pada perempuan itu, cinta dan kebahagiaan seakan bersembunyi. Dia tak peduli pada kesadaran, membiarkan diri menabur duri dan angin. Akhirnya dia menuai badai. Mengerikan apa yang sudah perempuan itu terima karena kebodohan hatinya. Terkadang dia putus asa.

Saat pagi, dahan-dahan waktu perempuan itu seakan tiada gairah. Saat malam tiba, dia sering melemahkan hati terhadap hal-hal yang membuat dirinya nyaman. Malamnya menciptakan banyak jejak yang menyakitkan.

Kuduga, perempuan itu telah mengalami trauma psikis dalam hidupnya. Jiwanya rapuh, sepertinya dia sudah tahu rasanya disakiti itu tidak menyenangkan. Namun, dia dengar sadar menyakiti diri sendiri. Melakukan hal gila hanya untuk melupakan kesedihan. Dia seorang perempuan yang terjebak di hutan sendu.

Sesungguhnya, aku cemas jika perempuan itu terus seperti itu. Terus terjebak di hutan sendu. Tuhan, aku rindu perempuan itu mencari alamat kesadaran akan penerimaan hidup. Tak lagi meniduri kesepiannya, dan menggendong luka-luka yang berdebu.

Aku berbisik pada diriku sendiri, semoga perempuan itu tidak selalu berkekasih dengan kelesah. Tuhan, aku sungguh ingin perempuan itu mengalihkan pandang dari rumput-rumput kedegilan yang ada di pekarangan nalarnya. Tidak lagi keras kepala terhadap kenyataan hidup.

Tuhan, kupikir dia harus kembali ke arah yang benar. Aku sedih jika perempuan itu terus seperti itu, ketakutan yang tidak seharusnya ditakutkan. Karena jika seperti itu, dia sudah bersekutu dengan keangkuhan diri. Melupa akan pemilik hidup yang sebenarnya pemilik hidupnya.

Bukankah seharusnya perempuan itu takut terhadap kematian, kematian yang seperti apa yang akan dia miliki. Dan dia memang harus takut. Sebaiknya, perempuan itu tidak membiarkan diri terjebak di hutan sendu yang teramat. Kukira perempuan itu harus mematahkan ketakutan yang menghantui dirinya.

***
Rantauprapat, 30 Oktober 2020
Lusy Mariana Pasaribu




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline