Lihat ke Halaman Asli

Julianda Boang Manalu

TERVERIFIKASI

ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Membaca Bahaya Otoritarianisme dalam RUU Perampasan Aset

Diperbarui: 19 September 2025   14:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. (Sumber: strateginews.id/Freepik)

Di tengah keresahan publik terhadap maraknya praktik korupsi, muncul satu harapan baru: Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. RUU ini dipandang sebagai jalan pintas untuk menyelamatkan kekayaan negara yang hilang akibat ulah pejabat curang maupun pelaku kejahatan lainnya. 

Ide besarnya sederhana: kalau ada harta yang terbukti berasal dari tindak pidana, maka negara berhak langsung mengambilnya tanpa perlu menunggu proses pidana selesai. Dari sisi logika hukum, aturan ini jelas terasa progresif.

Namun, setiap obat kuat selalu menyimpan efek samping. Begitu pula dengan RUU Perampasan Aset. Apa yang tampak sebagai instrumen hebat dalam memberantas korupsi justru bisa berubah menjadi alat represi jika kewenangan itu jatuh ke tangan yang salah.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM, Zaenurrohman, bahkan mengibaratkan RUU ini sebagai "cek kosong" yang bisa dipakai aparat untuk menekan siapa saja, dari pejabat hingga masyarakat biasa (Kompas.com, 19/9/2025).

Kekhawatiran itu tidak muncul tanpa alasan. Publik tentu masih ingat sejumlah kasus di mana aparat hukum justru terlibat dalam skandal pemerasan dan penyalahgunaan wewenang. Polri misalnya, berkali-kali mendapat sorotan karena tindakan represif atau perilaku menyimpang anggotanya. 

Jika dalam kondisi sekarang saja praktik tersebut sulit dibendung, bagaimana jadinya bila aparat dibekali kewenangan super untuk menyita aset tanpa putusan pengadilan yang final?

Di sinilah letak paradoks besar RUU Perampasan Aset. Ia lahir dari semangat menegakkan keadilan, tetapi di saat yang sama bisa menjadi pintu masuk bagi otoritarianisme hukum. 

Publik harus kritis membaca kemungkinan itu, sebab sejarah menunjukkan bahwa hukum yang terlalu kuat tanpa pengawasan justru kerap dipakai untuk membungkam, bukan membebaskan.

Latar Belakang

RUU Perampasan Aset hadir dengan tujuan yang tampak mulia: mempercepat pemulihan kerugian negara akibat kejahatan. Selama ini, penyitaan aset kerap tersendat karena menunggu putusan pidana yang memakan waktu panjang. 

Dalam banyak kasus, pelaku keburu kabur atau bahkan meninggal dunia, sementara aset yang mereka peroleh dari hasil kejahatan tidak bisa disentuh. Negara pun kehilangan potensi triliunan rupiah setiap tahunnya, sebagaimana pernah diungkap oleh Transparency International Indonesia (2022).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline