Lihat ke Halaman Asli

Leya Cattleya

TERVERIFIKASI

PEJALAN

Nama dan Identitas Dayak, dari Upacara Adat Sampai Upaya Lepas dari Diskriminasi

Diperbarui: 22 Juni 2019   06:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warga Suku Dayak di Desa Pampang, Kecamatan Samarinda Utara, Provinsi Kalimantan Timur. (KOMPAS.COM/BARRY KUSUMA)

 

Ada apa dengan nama? 

Setelah artikel saya tentang obligasi hijau, sukuk kijau dan investasi hijau beberapa waktu yang lalu, saya akhirnya bisa 'kopi darat' dengan Kompasianer Marius Gunawan di kafe Orbora di area hutan di Manggala Wana Bakti, Kementrian Lingkungan dan Kehutanan (KLHK) beberapa hari yang lalu.

Adalah kejutan yang menyenangkan bahwa kami ternyata sama-sama bekerja untuk KLHK, walau untuk proyek yang berbeda. Lokasi kantor kami, yang jarang kami datangi pun, hanya terpisahkan oleh blok.

Obrolan awal kami soal investasi hijau, soal sampah, dan tata kelola perhutanan terhenti ketika pekerja kafe memanggil melalui pengeras suara 'Pak Gunawan. Pak Gunawan. Jus Kedondong dan Air Mineral telah siap dan bisa diambil". Sayapun bertanya kepada pak Marius Gunawan, 'O pak Marius dipanggilnya pak Gunawan ya?".

Nah dari situ, obrolan kami masuk ke soal pemberian nama di kalangan masyarakat atau suku Dayak. Sangat menarik.

Saya sempat katakan pada pak Marius "Ini menarik. Tulis dong. Atau saya yang tulis lho"

Diskusi dengan pak Marius membuat saya penasaran. Dan, tulisan ini adalah tulisan nekad. Ini adalah interpretasi saya atas diskusi dengan pak Marius. Saya mencoba melakukan kajian pustaka kecil kecilan. 

Sayangnya, saya belum menemukan studi yang signifikan terkait pemberian nama di kalangan masyarakat atau suku Dayak. Akhirnya, saya membaca beberapa tulisan yang memberikan gambaran sepotong sepotong. Juga proses pemberian nama pada suku suka lain di Indonesia. 

Sayapun mewawncara, atau tepatnya ngobrol lebih jauh, dengan seorang nara sumber lahli untuk isu Dayakisme untuk mendapatkan gambaran lebih baik. Mohon pak Marius dan kawan kawan Kompasianer yang lebih memahami konteks dan sejarah ini untuk dapat memberikan masukan dan koreksi.

Dan, saya kemudian menjadi ingat drama Romeo and Juliet, William Shakespeare "A rose by any other name would smell as sweet", atau 'mawar, walaupun diberi nama lain tetaplah berbau harum yang manis'

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline