Lihat ke Halaman Asli

Latifah Maurinta

TERVERIFIKASI

Penulis Novel

Penulis dan Penerbit, Tak Perlu Ragu Mengangkat Isu "Seksi"

Diperbarui: 27 Oktober 2019   06:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay.com

Saat membaca syarat dan ketentuan penerbit, sering kali Young Lady cantik menemukan pernyataan seperti ini:

Naskah tidak mengandung unsur SARA.

Well, seharusnya pernyataan itu direvisi. Kalau Young Lady membuat ketentuannya, kata 'mengandung' akan diganti 'menyinggung'. Justru sebuah naskah buku tak masalah bila mengandung unsur SARA. Asalkan tidak ada konten yang menyinggung. Jika sebuah naskah buku tanpa unsur SARA, pembaca takkan mendapatkan pengetahuan mengenai etnis, agama, dan golongan tertentu.

Sebenarnya, isu SARA tak perlu menjadi sensitif dan kontroversial bila kita mampu mengolahnya dengan bahasa halus. Seperti halnya isu toleransi dan pluralisme yang tidak bisa diterima semua orang. Ini semua akibat pola pikir dan sudut pandang yang sempit.

Andai penulis dan penerbit mau sedikit saja berpikiran luas, mereka takkan ragu mengangkat isu 'seksi' dalam sebuah buku. Naskah-naskah potensial yang mengupas isu pluralisme takkan diberangus atau berakhir dalam folder penolakan. Letak kesalahannya adalah pola pikir yang sempit dan keengganan untuk terbuka dengan pemikiran baru.

Young Lady heran, mengapa masih banyak orang-orang berpikiran sempit di jagat perbukuan kita? Mengapa naskah-naskah bagus tetapi beraroma pluralisme dilempar dari meja redaksi? Sebaliknya, mengapa naskah tak bermutu yang cenderung mengarah ke selangkangan justru begitu dipuja?

Coba tanya ke dalam diri kita sendiri. Manakah isu yang lebih 'seksi'? Isu selangkangan atau isu toleransi dan pluralisme? Kalau kalian tanya Young Lady, jawabannya isu 'seksi' adalah isu toleransi dan pluralisme. Sedangkan isu selangkangan tergolong murahan dan negatif.

Apa syarat sebuah naskah yang baik? Sebuah naskah yang baik harus memenuhi beberapa fungsi: fungsi menghibur, mendidik, dan menginspirasi. Tanpa riset, sebuah naskah calon buku akan kehilangan mutu dan wawasannya. Tanpa pesan moral yang positif, sebuah naskah kehilangan fungsi inspiring. Tanpa keindahan gaya bahasa dan story telling, sebuah naskah akan kehilangan fungsi hiburan (entertaining).

So, tak ada salahnya bila sebuah naskah mengandung unsur SARA dan isu 'seksi'. Asalkan tidak menyinggung pihak mana pun. Sayangnya, belakangan ini orang-orang menjadi super sensitif. Radar sensitivitas mereka menajam berkali lipat bila dihadapkan dengan isu 'seksi'.

Kapankah kita akan keluar dari sensitivitas pluralis yang menggejala di sini? Kapankah kita siap kembali terbuka dengan isu 'seksi'? Dengan materi selangkangan saja pembaca mau terbuka dan menikmatinya, kenapa penulis, pembaca, dan penerbit tidak bisa terbuka dengan isu 'seksi'?

Sama seperti film, industri perbukuan adalah bisnis. Tapi, haruskah semua segi dalam industri perbukuan dibisniskan? Tidak adakah celah untuk masuknya idealisme? Tidak adakah celah untuk masuknya isu 'seksi'?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline