Lihat ke Halaman Asli

labiba r

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Membuka Penjara Moral dengan Kebebasan Berpikir : Kisah Neil Perry dalam Dead Poets Society

Diperbarui: 6 Juli 2025   17:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keating ketika pertama kali mengajar di kelas Neil Perry (Source : Pinterest)

Setelah 36 tahun setelah perilisan, film Dead Poets Society atau biasa disingkat menjadi DPS, masih setia menemani penggemarnya dengan berbagai nilai moral yang disajikan dalam film ini. Film yang berlatar ahun 1950-an di sebuah sekolah asrama laki-laki ini bercerita tentang seorang guru alumni, Mr Keating, yang mengubah cara hidup murid-muridnya dengan menanamkan ideologi berpikir bebas lewat puisi. Adapun Neil Perry, adalah salah satu dari anggota pertemanan di akademi Walton yang cukup pintar, dan ia pula-lah yang menginisiasi terlahirnya Dead Poets Society ini kembali.

Dead Poets Society pada dasarnya adalah sebuah organisasi penggemar puisi, yang sayangnya sudah dilarang oleh kepala sekolah akademi Welton, yaitu Mr. Nolan. Mereka membaca puisi di sebuah gua untuk membangkitkan gairah kehidupan mereka. Salah satu alumni perkumpulan tersebut, ialah Mr. Keating yang akan menjadi guru ideologi para pemuda disana.

Welton Academy dan Jeruji Bernama Prestasi

Kaku dan seremonik. Dua kata ini cukup untuk membingkai Welton Academy. Sekolah Neil Perry, dan keenam teman lainnya. Dengan keempat pilarnya, Dispilince, Exellence, Honor dan Tradition, menjadikan Welton amat saklek dalam menggambarkan sebuah inti kesuksesan. Sistem yang membentuk keseragaman, kepatuhan, dan pencapaian akademik, sebagai standar tunggal keberhasilan siswanya. Upacara-upacara yang berjalan begitu sakral tapi kosong secara emosional. 

Welton justru menjelma menjadi penjara berpikir yang otoriter. Dalam kajian psikologi sosial, kondisi ini tak lepas dari Conformity Theory—tekanan eksplisit maupun implisit yang mendorong individu mengekor norma mayoritas demi menghindari sanksi sosial. Tak heran, kreativitas dipandang lalat dan keberanian diberi label pembangkangan.

Welton bukan hanya wajah dari sebuah sistem yang lebih besar. Dibalik itu, para muridnya pun membawa beban harapan dari orang tua yang kerap menutup pintu diskusi, tuntutan keluarga, dan ekspektasi kesuksesan anak muda yang diidam-idamkan masyarakat. Membuat anak muda kehilangan kesempatan bahkan untuk mengenal dirinya sendiri.

Dari perpaduan antara tuntutan sitem akademis dan beban ekspektasi keluarga, lahirlah seorang Neil Perry. Anak yang seharusnya digambarkan dengan pribadi yang bebas, ekspresif, dan ceria itu jsutru tumbuh di ruang yang penuh batas. Di rumah, ia ditodong perintah ayahnya untuk berkarir menjadi dokter tanpa merasa sebagai anak yang didengar. Sementara di sekolah, ia dituntut menjadi siswa ideal versi institusi. Taat, unggul dan akademis. Dari tekanan itulah, Neil bahkan kehilangan identitas dirinya bahkan sebelum ia mengenal dirinya sendiri.

Carpe Diem, Seize Your Day!

Di tengah kaku dan mapannya sistem Welton, hadir sosok Mr. Keating—guru sastra yang tampil seperti gangguan dalam kesunyian yang teratur. Ia tidak datang membawa aturan baru, tapi menanamkan ide: bahwa hidup tak seharusnya dijalani secara otomatis. 

Keating bukan sekadar guru sastra. Ia membawa semangat hidup yang subversif dalam kesenyapan Welton: Carpe Diem—seize the day. Slogan itu bukan klise bagi Keating, melainkan seruan eksistensial untuk hidup secara sadar dan berani. Ia mendorong murid-muridnya untuk merengkuh hidup sebagai ruang pilihan, bukan kewajiban.

“Carpe Diem. Seize the day, boys. Make your lives extraordinary.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline