Lihat ke Halaman Asli

Pernikahan dan Sisi Paradoks "Sudah Mampu"

Diperbarui: 19 November 2021   08:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: Pixabay.com

Seperti waktu, ia akan terus berjalan sesuai dengan ketepatan. Sama halnya seorang yang benar-benar layak dalam menjalani hubungan pernikahan, " sudah mampu" bukan berarti sudah pasti layak dalam menjalaninya.

Di tengah banyaknya gerakan menikah muda yang tidak sedikit dikampanyekan lewat media social dewasa ini. Bagaimana tujuan dari adanya kampanye "nikah muda", tentu demi anak muda tidak terjerumus pada perbuatan yang melanggar agama seperti zina.

Maka berbicara tentang pernikahan di usia muda, itu memang bukan sebuah pelanggaran social maupun bertentangan dengan norma-norma kepatutan moral di adab ke-21.

Pada dasarnya, tentang pernikahan, semua kembali sebagai bagian dari hak asasi manusia, yang harus dijunjung atas kebebasan pribadi manusia diera millennium ketiga seperti saat ini.  

Nikah muda atupun nikah tua, bahkan mungkin tidak menikah sekalipun, merupakan hak dari masing-masing orang yang tidak dapat dikebiri secara social atas nama pandangan subyektif masing-masing.

Tetapi ditengah keterbukaan informasi, dimana media social semakin maju dalam memfasilitasi kehidupan manusia ber-eksistensi dengan memamerkan sebuah foto atau narasi kata-kata ajaib sebagai sebuah pembenaran, maupun pembagian informasi atas moment-momonet hidupnya, yang layak untuk dibagikan kepada public media sosial.

Kenyataannya menikah dan inisiatif pernikahan di abad ke-21, seakan-akan adalah sebuah tendensi tren bagi anak muda dalam memaknai eksistensinya, berharap memaknai pernikahan dengan sejumlah tawaran kebahagiaan akan gemilangnya pesta pernikahan yang saling memprovokasi di media sosial.

Tren menikah diabad ke-21 seperti sebuah perlombaan, bahkan dengan adanya media social yang menayangkan konten pernikahan. Tidak jarang dari mereka berlomba-lomba menyajikan apa hal terbaik dalam pesta perkawinannya seperti tatanan dekorasi atupun baju perkawinan yang dipandang dapat menjadi sebuah pembeda dengan yang lain.

Untuk itu dan yang patut direnungkan dalam memaknai hidup ini, mungkinkah pemberhentian dari sebuah realitas keganjilan dalam hidup yang serba paradoks, behenti saja dengan impian pernikahan semata dibalik indahnya gaun dan kostum pernikahan ramah media social?

Apakah, alasan megabadikan pernikahan sebagai sebuah moment seumur hidup bisa menjadi rujukan awal sebuah pernikahan yang nyaris sempurna, tanpa ada tantangan pernikahan yang umumnya harus dijalani dengan janji sampai tua bahkan lebih esensial dari itu sampai maut memisahkan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline