Lihat ke Halaman Asli

Dilema Pertanian: Antara yang Maju dan Dapat Tenggelam

Diperbarui: 28 Juli 2020   09:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: dokpri

"Suatu ruang gerak jika tidak terus difasilitasi dalam gerakannya bukan tidak mungkin dengan sendirinya ia akan maju. Sebaliknya ruang gerak itu akan mangkrak dan tenggelam bersama dengan ketidakmauan menginisiasi gerakan"

Satu hal yang saat ini saya tidak kira sebelumnya tentang kabar yang saya dengar dari bapak saya sendiri sebagai petani pengarap sawah, yang lahannya harus ia kontrak dari orang lain yang mempunyai lahan sawah di desa.

Memang tidak disalahkan berbagai faktor itu tentang sudah ogah-ogahannya buruh tani ke sawah.Tidak, bukan mereka tidak butuh makan, bukan! Mereka tetap butuh makan akan tetapi saat ini karena semakin sedikit buruh tani yang mau kesawah justru buruh tani menghargai dirinya lebih tinggi dari biasanya berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Tetapi mereka "buruh tani" tidak sadar bagaimana jungkir baliknya petani garapan yang hasilnya juga tidak berbanding lurus dan berbeda jika lahan sawah itu milik sendiri.

Untuk membeli pupuk yang saat ini mahal, tanah garapan yang harus disewa lagi harganya pun lumayan, belum dengan tenaga yang dibutuhkan merawat tanaman padi di sawah, itu juga bukan nilai yang sedikit jika dibandingkan dengan rupiah.

Umunya di desa saya pingiran Kabupaten Cilacap saat ini memasuki musim panen raya. Meskipun di tengah pandemi Covid-19, sektor pertanian lah yang paling aman sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat di tengah pandemi.

Oleh karena itu beruntunglah orang desa masih luasnya lahan pertanian, setidaknya untuk makan sendiri tidak merasa kebingungan. Semua orang akan punya padi untuk makan jika ia mau bekerja di sawah apa lagi saat ini musim panen raya padi telah tiba.

Namun bukan apa, anugerah yang seharusnya disyukuri masih dapat sama-sama menikmati hasil panen padi di desa walaupun sebagai buruh tani, justru oleh sebagian gelintir orang dibuat seakan buruh tani pemetik padi di sawah yang masih menggunakan mesin dan alat secara manual memaksa untuk dihargai lebih tinggi.

Memang sah saja ada transaksi tawar-menawar dalam skup pekerjaan meskipun itu di sektor pertanian. Tetapi bukankah nilai dari harga pasaran pada umumnya mengukur bagaimana hasil dari pendapatan hasil pertanian tersebut?

Inilah yang gagal dipahami oleh buruh tani saat ini yang ada di desa saya memang tidak semua tapi ada saja yang tidak sadar. Bawasanya semakin tahun memang semakin sedikit orang-orang yang tertarik terjun ke sawah walaupun masa panen tiba justru dijadikan alat untuk meminta hasil yang lebih karena pertimbangan tenaga dan jarangnya orang mau terjun ke sawah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline