Lihat ke Halaman Asli

Krisis dan "Ngerinya" Jokowi, Bagaimana Pesan Masyarakat?

Diperbarui: 16 Juli 2020   18:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: merdeka.com

Jika dipikir dan dirasa dimasa pandemi ini, tidak ada yang tidak akan teriak "ngeri", semua orang yang terdapak pasti juga "ngeri" termasuk saya yang juga terkena PHK atau pembehentian kerja akibat dari wabah covid-19.

Tetapi atas dasar kengerian itu, mungkinkah aturan-aturan yang justru membuat mengerikan lagi, ditambah ketika pembatasan sosail masih dibatasi, akhirnya membuat perekonomian mati akan dibiarkan saja berlarut-larut tanpa kepastian seperti saat ini? Yang nyatanya saat ini masih; "semua masih riskan dan takut untuk memulai lagi geliat ekonomi karena aturan yang masih setengah-setengah dijalani"?

Pabrik-pabrik sudah lambat berproduksi, masuk sekolah belum juga dimulai, dan potensi membuat krumunan dari hiburan serta hajatan dibatasi. Pertanyaannya, masihkan kita semua takut akan pandemic ini yang tidak tahu kapan akan berakhir meskipun kita akan dilanda depersi?

Takut boleh saja, mati pun pasti terjadi pada setiap mahkluk yang hidup, tetapi yang harus dipikirkan ketika apa-apa dibatasi dan akhirnya mematikan ekonomi, bukankah ketika ekonomi lumpuh tidak ada kegiatan ekonomi, juga membuat suatu kegiatan bagi masyarakat terhambat?

Memang pro dan kontra menjadi hal yang biasa dalam tatanan masyarakat dewasa ini. Ketika kita merekam semua orang yang sedang berbicara, mengkritik, atau memberi saran, semua tidak akan pernah ada habisnya. Karena apa yang diperluakan saat ini adalah bangkit, memulai lagi geliat ekonomi yang secara tidak langsung juga membuat giat masyarakat tumbuh kembali.

Bukan apa, ketika giat masyarakat tidak kunjung terjadi, menganggur disana-sini, tidak kunjung ada pendapatan untuk akomodasi hidup, masyarakat akan rentan terhadap apa yang dinamakan dengan depresi. Pandemi covid-19 jika terus ditakuti, ditambah lagi dengan pemeberitaan yang kurang berimbang untuk dikonsumsi, kata ngeri tidak hanya terucap dari mulut seorang Presiden nanti , tetapi mulut-mulut masyarakat yang frustasi menikmati dunia, yang sudah tidak dapat dinikmati dengan kata takut yang justru mematikan daya gerak serta kreatifitas manusia.

Benar yang diperlukan saat ini adalah kesehatan, tetapi apa artinya sehat dikala masyarakat saat ini rentan sekali terhadap "depresi" sudah tidak ada kegiatan juga pendapatan? Bukankah protocol kesehatan yang digencarkan cukup untuk membuat masayrakat jaga diri, bagi siapapun yang masih mencintai dirinya sendiri?

Meskipun buka dibatasi pusat perbelanjaan sudah ramai, tempat wisata seperti pantai juga sudah ramai dipadati, dan apa yang kita tunggu lagi? Masyarakat ingin bekerja lagi, ingin berpenghasilan lagi, ingin ada kegiatan lagi, apakah masyarakat harus terus mengkonsumsi media yang isinya berita dari pemerintah dimana berita-berita tesebut adalah dasar dari ketakutan dan kengerian masyarakat saat ini ditengah wabah pandemi covid-19 yang tidak pasti?   

"Kemarin (09/06/20) saya membaca artikel berita di detik.com Presiden Republik Indonesia Joko Widodo yang mengaku ngeri jika ekonomi dunia krisis tahun ini, yang akan berdampak bagi perekonomian Indonesia. Oleh karena itu Jokowi meminta mentrinya giat bekerja seolah-olah Indonesia sudah krisis".

Tetapi saya kira diawal-awal penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Bersekala Besar) kehidupan kota sudah mulai krisis, tetapi berbeda dengan pedesaan, karena pertanian masih jalan, krisis tersebut tidak terasa, PSBB di Desa sendiri tidak begitu mempunyai efek, hanya aparatur Negara seperti polisi dan sebagainya yang memang patroli dan membuat suatu aturan sendiri menerapkan jam malam di titik-titik keramian di desa.

Saya berpendapat, jika memang Presiden serius menggiatkan kerja kementrian melaui anggaran dan sebaginya, salah satu factor berpengaruh terhadap penyerapan anggaran untuk perekonomian tentu pertama sekali langkah yang harus dilakukan adalah meniadakan lagi aturan-aturan pembatasan sosial ke keadaan "normal" kembali menerapkan gaya protocol kesehatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline