Lihat ke Halaman Asli

Menatap Keberadaan Filsuf Masa Depan

Diperbarui: 18 Juli 2019   19:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"I" smartproedcution.com

Sedikit agak ganjil memang, tetapi ingin aku sampaikan dengan serius tetapi agak santai. Umumnya seseorang yang merasa punya kekuasaan akan uang ditakdirkan begitu, mereka juga merasa punya kekuasaan untuk menjadi pemenang di dalam kerumunan.

Antara uang dan kekuasaan apa hubungannya? Mungkin mempertanyakan pertanyaan ini di jaman batu masih relevan. Tetapi di zaman melinum ini, kekuasaan dan kekayaan "uang" merupakan prodak dari budaya, yang asalnya juga dari zaman batu dahulu, siapa yang kuat dia yang menang.

Uang kini telah menjadi kekuatan itu, dia "uang" memang sederhana, hanya paparan kertas yang bila diletakan di hutan belantara yang luas menjadi tidak laku. Tetapi ini melenium yang berarti berpusar pada moderitas. Celakanya yang dianggap modern semua bertumpu pada anggapan karena itu berbeda dengan zaman sebelumnya.

Kehidupan, moderitas dan manusia, tidak lebih-lebihnya adalah prodak budaya yang masih berjalan dan akan terus berjalan. Suatu pola manusia, pada dasarnya dapat diruntut tidak lebih dengan pendekatan secara kebudayaan dalam suatu kondisi masyarakatnya.

Seorang filsuf yang besar sekalipun di dunia dengan berjilid-jilid karya yang monumental, tidak mungkin mampu berpikir dan membuat karya tanpa mereka tahu hierarki sosial dan budaya manusia yang terjadi pada zamannya.

"Bukan sesuatu yang aneh memang, pada dasarnya filsuf yang dikatakan bijaksana itu, hanyalah mereka yang padai meruntut". Bagaimana dampak kebudayaan itu memanggil dirinya untuk bereaksi atas dasar nalar dari berbagai budaya tersebut yang "gajil" menurut pendapatnya.

 

Mereka terpecah oleh nalar sebagai cara berpikirnya sendiri. Merasa bahwa kebudayaan itu yang kini banyak orang jalani sebagai hambatan untuk maju dan berkembang sebagai pribadi. Dengan berbagai argumen yang mereka tanamkan, akhirnya berpengaruh pada manusia di dalamnya.

"Mereka "filsuf" berpikir berbeda guna membangun kebudayaannya sendiri. Tentu seperti "senyaman" yang mereka mau, perihal menjalani hidup sebagai manusia yang berbudaya di dunia. Tidak untuk meniru tidak pula untuk ditiru, tanpa pengaruh dan mempengaruhi pada akhirnya".

Tetapi pada dasarnya semua kembali kepada faktor manusianya, terkadang disaat mereka kosong, semacam ada dorongan mengikuti, padahal dia harus membangun hidup apa yang sesuai dengannya.

Dari sinilah tumbuh Tuhan-tuhan baru, orang-orang suci baru, dan komunitas-komunitas baru, yang paling diakui sebagai bayangan penjabaranya sendiri menurut anggapannya. Manusia modern mulai menilai, tetapi banyak dari mereka tidak bertumpu dengan dirinya sendiri. Dia bertumpu pada putusan krumunan, yang mereka anggap sebagai baik dalam budaya populer yang terjadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline