Lihat ke Halaman Asli

Potensi Bahaya Vape, Siapa yang Harus Mengatur?

Diperbarui: 4 Desember 2019   15:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Jatuhnya 11 korban jiwa dan 530 kasus kerusakan paru di Amerika Serikat (AS) yang diduga berhubungan dengan penggunaan rokok elektrik (vape) telah menyebabkan penggunaan vape di AS menimbulkan kontroversi. Di Indonesia juga muncul wacana untuk pelarangan vape terutama vape dengan perasa. 

Di Indonesia sendiri sudah ada dua temuan yang diduga juga terkait dengan penggunaan vape yang makin marak. Satu temuan pada pria berusia 23 tahun yang meskipun sudah 8 tahun merokok, namun baru mengalami keluhan sesak napas dan temuan hidropneumothoraks setelah 6 bulan menggunaan vape. Satu kasus lagi pada remaja usia 18 tahun yang sudah 3 bulan mengkonsumsi vape denga gejala sesak nafas dan batuk dan temuan inflitrat di hasil foto rontgen.

Di Indonesia sendiri, seiring dengan semakin derasnya peringatan akan bahaya rokok melaalui berbagai media, serta perkembangan tren gaya hidup, penggunaan vape semakin marak terutama di kalangan muda. Vape bukan hanya sebagai alternatif rokok, namun juga telah menjadi gaya hidup. 

Apalagi sejauh ini belum banyak himbauan tentang potensi bahaya yang ditimbulkan oleh vape, apalagi sampai tingkat pelarangan. Sehingga penggunaan vape ini berpotensi (jika tidak ingin disebut dikhawatirkan) akan semakin meningkat. Pengguna vape ini akan datang dari mereka yang dulunya perokok dan mencoba mencari alternatif yang dinilainya lebih aman dan sehat, dan mereka yang belajar merokok terutama kalangan remaja.

Potensi Masalah dibalik Meningkatnya Penggunaan Vape

Salah satu penyebab meningkatnya penggunaan vape adlah anggapan bahwa Vape aman dan tidak membahayakan kesehatan sebagaimana rokok. Apalagi dari pemerintah sendiri hampir tidak ada pernyataan maupun himbauan terkait dengan bahaya vape. Padahal Vape ini mulai menyasar remaja dan menjadi pintu masuk untuk mulai merokok. 

Sejauh ini juga belum ada regulasi untuk membatasi penggunaan vape maupun himbauan untuk tidak menggunakan vape. Regulasi yang terkait dengan penggunaan Vape masih sangat umum yaitu masuk  dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia pernah menyampaikan bahwa setidaknya ada tiga kandungan vape yang membayakan kesehatan yaitu nikotin, karsinogen yang keduanya juga terdapat pada rokok, dan yang ketiga adalah kandungan yang bersifat iritatif dan toksik yang menyebabkan kerusakan sel akut termasuk paru. Zat toksik dan iritatif sepertu gliserol, aldehyde, logam dan particulate matter (PM)  ini menjadi penyebab banyak kerusakan paru akibat vape seperti yang terjadi di AS.

Lemahnya payung hukum untuk pengendalian penggunaan vape ini menyebabkan upaya sosialisasi dan penyuluhan tentang bahaya vape ini masih sangat kurang. Pendekatan yang dilakukan masih sebatas mendorong perluasan kawasan tanpa rokok. Sementara di kalangan pengguna sendiri menilai vape bukanlah rokok. 

Apalagi belum ada temuan yang terpublikasi luas di Indonesia terkait penggunaan vape yang menyebabkan gangguan kesehatan atau organ tubuh yang serius. Akibatnya Kementerian Kesehatan hanya bisa memberikan sebatas sosialisasi dalam bentuk pengetahuan untuk menghindari penggunaan vape dan tidak dilakukan dengan massif sebagaimana kampanye terhadap rokok.

Memperkuat Regulasi untuk Pengendalian Penggunaan Vape

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline