Pada suatu malam yang dingin di Kathmandu, seorang mahasiswa berusia 20 tahun bernama Anisha membuka laptopnya. Bukannya menyalakan televisi atau membaca koran, ia justru masuk ke sebuah server Discord bernama Hami Nepal.
Di ruang obrolan itu, puluhan ribu anak muda sepertinya sedang berdiskusi---mulai dari isu kenaikan harga bahan bakar, korupsi pejabat, hingga krisis politik setelah pengunduran diri Perdana Menteri K.P. Sharma Oli.
Fenomena ini mungkin terdengar asing bagi generasi yang terbiasa dengan rapat partai atau sidang parlemen fisik. Namun bagi Anisha dan ratusan ribu Gen-Z Nepal lainnya, Discord adalah "parlemen digital." Platform yang awalnya dibuat untuk komunitas gim daring itu kini menampung lebih dari 145 ribu anggota.
Diskusi serius berlangsung, usulan diajukan, pemungutan suara dilakukan, dan konsensus pun tercapai. Dari sanalah muncul kesepakatan untuk menunjuk Sushila Karki, mantan Ketua Mahkamah Agung, sebagai perdana menteri sementara.
Apa yang dilakukan Gen-Z Nepal bukan sekadar respons spontan terhadap kekosongan politik. Ini adalah wujud transformasi demokrasi di era digital.
Dalam kerangka teori demokrasi deliberatif yang dikemukakan Jrgen Habermas, ruang publik ideal adalah tempat di mana warga berdiskusi rasional untuk mencapai konsensus. Discord, dalam konteks Nepal, menjelma menjadi ruang publik virtual yang melampaui sekat wilayah, kelas, bahkan birokrasi.
Dari balik layar laptop atau ponsel, anak-anak muda seperti Anisha merasa suaranya didengar dan punya bobot politik.
Fenomena ini juga bisa dijelaskan dengan teori networked publics dari peneliti media sosial danah boyd. Media digital tidak hanya sarana komunikasi, tetapi ruang sosial baru di mana identitas, opini, dan solidaritas dibentuk bersama.
Gen-Z Nepal menjadikan Discord sebagai alat politik: membangun narasi, menyusun agenda, hingga mengeksekusi keputusan. Mereka membuktikan bahwa generasi digital tidak apatis, hanya saja mencari bentuk partisipasi yang lebih horizontal, cepat, dan inklusif.
Tentu, pertanyaan besar tetap menggantung: seberapa sah keputusan yang lahir dari ruang obrolan daring? Tanpa payung hukum, kesepakatan digital hanya dianggap informal. Tantangan Nepal kini adalah bagaimana mengintegrasikan inovasi ini ke dalam sistem demokrasi formal tanpa mengorbankan akuntabilitas dan transparansi.