Di era ketika anak-anak lebih hafal nama karakter anime Jepang daripada nama pahlawan nasional, tiba-tiba hadir sebuah karya animasi dari anak bangsa yang berjudul One For All. Judulnya memang terdengar mirip jargon pahlawan super ala manga, tapi jangan salah, ini bukan sekadar tempelan gaya Jepang. Ini adalah karya asli, buatan tangan, keringat, dan mimpi para animator muda Indonesia yang nekat melawan stigma, "ah, animasi Indonesia paling mentok gitu-gitu aja."
Sejak pertama kali trailernya muncul, One For All langsung memantik rasa penasaran. Bagaimana tidak, kualitas gambarnya tidak terlihat seperti hasil "tugas akhir mahasiswa desain grafis", tapi benar-benar setara dengan animasi internasional. Bahkan, di kolom komentar YouTube, ada yang iseng bilang, "loh ini beneran buatan Indonesia? Kok bukan Jepang atau Korea?" Nah, ini komentar yang bikin antara pengin ketawa dan nangis bahagia.
Kebanggaan ini muncul bukan karena kita rendah diri, tapi karena selama ini ekspektasi publik terhadap animasi lokal masih minimalis. Ingat, banyak dari kita yang masa kecilnya ditemani oleh animasi luar negeri. Dari Doraemon, Dragon Ball, Naruto, hingga SpongeBob. Sementara itu, animasi lokal yang muncul di televisi sering dianggap lucu, tapi belum bisa dijadikan tumpuan prestise global. Baru belakangan muncul gebrakan serius, mulai dari Si Juki The Movie hingga Nussa. Dan kini, One For All datang sebagai bukti bahwa animator Indonesia nggak main-main.
Kekuatan utama One For All ada pada keberanian ceritanya. Kalau biasanya animasi lokal terjebak di antara dua kutub entah jadi terlalu "nasionalis edukatif" yang membuatnya mirip video belajar PKN, atau sebaliknya terlalu "latah" mengikuti gaya luar negeri film ini memilih jalannya sendiri. Ia menggabungkan tema-tema universal tentang persahabatan, keberanian, dan perjuangan hidup dengan bumbu khas lokal yang terasa dekat. Ada dialog, ada setting, bahkan ada nuansa yang terasa familiar dengan kehidupan anak muda Indonesia, lengkap dengan bahasa gaulnya.
Bayangkan sebuah adegan di mana tokohnya bertarung demi membela kebenaran, tapi kemudian ibunya tiba-tiba muncul sambil teriak, "Eh, pulang dulu, makan udah jadi!" Nah, humor macam begini yang membuat film ini terasa beda. Kita diajak tertawa, tapi juga tetap mengangguk karena merasa relate.
Selain soal cerita, One For All juga menjadi bukti keberhasilan kolaborasi anak bangsa. Proses produksinya melibatkan tim lintas daerah, dari Jakarta sampai Malang, dari Bandung sampai Makassar. Mereka bekerja secara remote, seringkali dengan modal semangat, kopi sachet, dan laptop yang kipasnya sudah seperti mesin jet. Bayangkan, karya sebesar ini lahir bukan dari studio raksasa dengan modal miliaran, melainkan dari tim yang tekun menyatukan ide, piksel demi piksel, frame demi frame.
Ada kebanggaan tersendiri ketika melihat karya ini akhirnya bisa meluncur di layar lebar. Bukan sekadar karena kualitas visualnya, tapi karena semangat yang tertanam di baliknya. Ini membuktikan kalau kreativitas bisa tumbuh meskipun infrastruktur belum sempurna. Bahwa mimpi bisa terwujud meskipun dunia hiburan seringkali dianggap hanya milik "negara maju".
Tentu saja, perjalanan One For All tidak sepenuhnya mulus. Ada yang nyinyir, "Ah, ini mah cuma ikut-ikutan anime." Ada juga yang meremehkan, "Liat aja, pasti ujung-ujungnya garing." Namun, justru dari kritik itulah film ini mendapatkan ruang pembuktian. Karena setiap kali orang meremehkan, selalu ada energi tambahan untuk membuktikan sebaliknya.
Kalau dipikir-pikir, One For All ini lebih dari sekadar film animasi. Ia adalah simbol bahwa Indonesia bisa. Kita bisa bikin animasi yang berkualitas, bisa bersaing, bisa diputar di festival internasional, bahkan mungkin suatu hari bisa tembus Netflix atau Disney+. Dan kalau itu terjadi, bayangkan betapa bangganya kita saat bisa bilang, "Itu loh, animasi buatan anak bangsa!"
Namun, ada satu hal penting yang jangan sampai kita lupakan, dukungan penonton. Animasi sehebat apapun, kalau penontonnya males nonton dan lebih milih streaming anime bajakan, ya susah juga. Dukungan penonton adalah bensin yang bikin api kreatif terus menyala. Kalau kita pengin animasi Indonesia maju, ya kita juga harus siap beli tiket, siap nonton di bioskop, siap jadi bagian dari perjalanan mereka.