Lihat ke Halaman Asli

Khairu Syukrillah

Aceh | khairuatjeh@gmail.com | IG @khairusyukrillah

Puisi | Hampa

Diperbarui: 9 Februari 2020   20:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok Pri

Rintik hujan nan sendu, menutup geliat senja. Meski angin bergemuruh, halilintar meraung-raung namun pandangan kosong nan hampa menatap kaca yang berembun, lebih mendominasi jiwa.

Saat itu aku terdiam, terpaku, merenung, dengan tatapan kosong menatap hujan, inilah marahnya sang alam pada jiwa yang hampa? Pada jiwa yang meronta namun berteriak dalam diam?

Ada perasaan yang bahkan tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, lalu aku berkata, kenapa? Kenapa hampa? Ada apa?

Tanpa jawab, tanpa tanggap dan senyap, seketika jemariku juga kaku untuk menuliskan ratusan kata sebagai jeritan atas jiwa yang hampa.

Semuanya gaduh, semuanya gemuruh, lebih gemuruh dari halilntar yang bergemuruh. Semua gaduh dan semuanya teriak, menjerit, meronta namun tanpa kata, tanpa suara. 

Seketika hening, seketika diam dan seketika hampa. Hampa tanpa dosa dan hampa tanpa suara.

Tuhan, maafkan atas candu hampa ini.

Brebes, 9 Februari 2020




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline