Lihat ke Halaman Asli

Kematian Moral dan Sandiwara Hukum di Negeri Hantu

Diperbarui: 5 Oktober 2025   13:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum di Indonesia: Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas? - Kompasiana.com

Krisis moral yang melanda para pemimpin bangsa telah menciptakan ketimpangan dalam penegakan hukum dan menumbuhkan rasa tidak percaya di tengah masyarakat.

Dalam artikelnya “Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu,” F. Rahardi menyingkap sebuah ironi yang menggambarkan kondisi bangsa ini. Tulisannya bukan sekadar kritik, melainkan sindiran tajam terhadap perilaku masyarakat dan pemimpinnya. Melalui analogi fobia terhadap ulat bulu, Rahardi menyoroti ketakutan irasional yang berkembang menjadi penyakit sosial dan politik. Fobia tersebut melambangkan ketakutan para pemimpin kehilangan kekuasaan, sekaligus ketidakberanian rakyat untuk menegakkan kebenaran.

Lebih jauh, Rahardi menilai bahwa persoalan besar seperti kekacauan politik, kerusakan lingkungan, dan krisis ekonomi justru dianggap sepele. Ia menyebutnya sebagai dagelan—sebuah lelucon tragis. Ketika anggota parlemen tertangkap menonton video porno saat sidang, hal itu seharusnya menjadi cerminan kejatuhan moral, bukan bahan tertawaan. Istilah “negeri hantu” pun menggambarkan keadaan bangsa yang hidup dalam kabut ketakutan dan ilusi—tempat di mana masalah utama disembunyikan dan hanya berubah bentuk menjadi “hantu” baru yang menakutkan. Selama kita terus menutupi persoalan dan sibuk dengan drama politik, bangsa ini akan terus tertahan oleh ketakutan-ketakutan ciptaan sendiri.

Sementara itu, Editorial Tempo berjudul “Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal” memperlihatkan bagaimana hukum di negeri ini sering kali hanya menjadi pertunjukan. Kasus yang sebenarnya mudah diselesaikan karena bukti dan saksi melimpah justru dibuat berlarut-larut tanpa kejelasan. Keadaan tersebut menimbulkan dugaan kuat bahwa ada kepentingan tersembunyi di baliknya.

Istilah sandiwara sangat tepat menggambarkan situasi itu—proses hukum hanya menjadi panggung teater, di mana setiap aktor memainkan perannya tanpa niat sungguh-sungguh menegakkan keadilan. Lembaga penegak hukum, mulai dari Kementerian Kelautan hingga Kepolisian, justru tampak berupaya melindungi para pelaku dan menutupi kebenaran. Hukum pun berubah menjadi alat permainan bagi mereka yang berkuasa.

Kondisi ini sejalan dengan pandangan Budiman Tanuredjo dalam tulisannya “Ketika Sumpah dan Etika hanya Menjadi Teks Mati.” Ia menyoroti pudarnya etika dan hilangnya makna sumpah jabatan di kalangan pejabat publik. Janji dan nilai moral hanya tinggal kata-kata kosong tanpa tindakan nyata. Keteladanan pemimpin, yang seharusnya menjadi fondasi moral bangsa, kini memudar. Akibatnya, kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan hukum semakin terkikis, dan cita-cita Reformasi 1998—yang menuntut keadilan, keteladanan, serta integritas—semakin jauh dari kenyataan.

Isu yang diangkat dalam ketiga artikel tersebut tidak muncul secara terpisah, melainkan saling berkaitan dan membentuk sebuah rantai panjang yang menimbulkan kegagalan sistem secara menyeluruh.

Ketiga artikel tersebut sesungguhnya saling terhubung dalam satu benang merah: rusaknya moral dan matinya sistem hukum di negeri ini. Masyarakat dan pemimpin terlalu sibuk mempertontonkan drama politik sementara persoalan besar bangsa terus dibiarkan. Dalam situasi seperti ini, para pelaku korupsi dan kejahatan bisa terus berlindung di balik kabut hukum yang penuh kepentingan.

Ketika integritas pemimpin telah sirna, hukum kehilangan maknanya. Sumpah jabatan menjadi sekadar formalitas, dan pelayanan kepada rakyat tergantikan oleh kepentingan pribadi. Hukum yang seharusnya menjadi pilar keadilan kini berubah menjadi alat untuk melindungi kekuasaan.

Proses hukum yang panjang dan penuh ketidakjelasan pada akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Rakyat melihat bahwa keadilan hanya berpihak kepada mereka yang beruang dan berkuasa. Jika hal ini terus dibiarkan, perpecahan sosial tak terelakkan, dan bangsa ini akan terus terjebak dalam lingkaran krisis moral serta sandiwara hukum yang tak berkesudahan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline